Chapter 1
Aku Tidak Mungkin Bisa Menjadi Normal
Takarai Sousei ingin menjadi seperti siswa SMA biasa
yang bisa ditemui di mana saja.
"Kau tahu Sousei..."
Sousei sedang mencuci tangannya. Teman sekelasnya,
Hayashi Yukisada, ada di sampingnya sambil mengelap tangannya.
Itu adalah sesuatu yang sangat biasa bagi anak SMA
pada umumnya. Mengajak teman pergi ke toilet saat istirahat di sela-sela
pelajaran. Mencuci tangan bersama di wastafel setelah kalian selesai dengan
urusan kalian. Tidak ada yang aneh sama sekali.
"Kamu agak aneh."
Yukisada mengatakannya sambil tertawa kecil. Sousei
mengarahkan tatapan penuh tanya padanya.
"... Benarkah?"
Yukisada mematikan keran air. Ia memasang raut wajah
tak percaya.
"Hah? Kau tidak menyadarinya?"
"Tidak, bukan begitu..."
Tanggapan pertamanya adalah tidak percaya.
Aku sadar diri—tapi menyakitkan
mendengarnya dari orang lain, maksudku...
Paling tidak, dia berusaha sebaik mungkin untuk
terlihat normal saat di sekolah. Itu yang dia lakukan.
"Kalau dibilang aneh, seperti apa?"
Dia langsung mendapat jawaban.
"Tanganmu."
"Tangan?"
"Kau terlalu lama mencuci tanganmu, Sousei."
Ia baru saja menggosok sela-sela jarinya ketika
Yukisada mengatakan hal itu.
"... Terlalu lama? Hah? Apa itu benar...?"
"Ya, sangat amat lama."
Dia terlihat seperti menahan tawanya.
"Aku tidak selalu melihat orang yang mencuci
tangan mereka dengan hati-hati, sepertimu barusan. Seakan-akan kamu adalah
seorang dokter atau semacamnya. Lebih khusus lagi, seperti dokter yang akan
memasuki ruang operasi."
"Kamu melebih-lebihkan..."
Ini tidaklah lama...
gumam Sousei dalam hati sambil menyelesaikan cuci tangannya dan mengeluarkan
saputangan untuk mengeringkan tangannya.
Sekarang setelah dia menyebutkannya, semua
orang tampaknya menyelesaikannya dengan cepat. Seakan-akan mereka tidak mau
repot-repot. Cara mereka melakukannya terlalu ceroboh menurutku... Tapi, kukira
memang begitulah cara yang biasa dilakukan, ya. Aku harus mencatatnya...
Yukisada tertawa kecil lagi.
"Kamu juga mengeringkan tanganmu terlalu
berlebihan."
"...Benarkah? Huh..."
Sousei menyimpan saputangannya sementara ia baru
mengeringkan tangannya sampai 65%.
Ugh. Tanganku belum benar-benar kering.
Rasanya sangat menjijikkan...
Namun, jika ini adalah standar untuk seberapa kering
seorang siswa SMA normal menyeka tangan mereka, itu harus dilakukan.
Aku harus bersabar dengan hal ini...
Sebuah desahan keluar dari bibirnya.
Yukisada tertawa lagi saat melihatnya. Teman
sekelasnya yang mungkin bisa ia sebut sebagai teman ini suka tertawa, meskipun
bukan berarti ia sering tertawa terbahak-bahak. Namun demikian, ada banyak
variasi dalam cara dia tertawa.
"Ngomong-ngomong Sousei."
"Ya?"
"Apa kamu sudah punya pacar sekarang?"
"Hah?"
Sousei tanpa sadar bertanya balik. Ayolah, kau tahu
apa yang kukatakan, begitu jawabnya.
"Pacar. Apa kau punya gadis seperti itu?"
"….?"
Entah bagaimana, ia tidak bisa memahami apa yang
dikatakan Yukisada, seolah ia berbicara dalam bahasa lain.
Tentu saja, “gadis” disini adalah kata yang semua
orang tahu.
Namun, “gadis” yang dikatakan Yukisada bukanlah
mengarah pada seorang teman. Tapi itu mengarah pada gadis yang memiliki
hubungan khusus seperti kekasih.
Selama dua tahun ia berada di kelas yang sama dengan
Yukisada, topik seperti itu hampir tidak pernah muncul di antara mereka. Tidak,
tidak pernah, tidak pernah sama sekali.
Lalu, mengapa dia tiba-tiba mengungkit soal apakah Sousei
berpacaran dengan seseorang atau tidak?
Mari kita mundur sedikit.
Ada seorang gadis yang dikenal sebagai Shiramori Asumi
di Kelas 2-B yang merupakan teman sekelas Sousei dan Yukisada.
Dia adalah salah satu gadis yang paling tinggi di
antara gadis-gadis lainnya dengan tinggi hampir 170 cm. Dia memiliki tubuh yang
ramping dan kepala yang agak kecil. Rasio tubuh dan tinggi badannya sedemikian
rupa sehingga bisa dikatakan kalau dia memiliki bentuk tubuh seorang model.
Gosip mengatakan bahwa kakek atau neneknya adalah orang asing dan itulah
sebabnya warna kulit dan warna rambutnya lebih terang dari yang lain.
Lalu, Sousei juga memiliki tinggi badan sekitar 170
cm. Dia tidak memiliki fitur yang menonjol. Tidak ada mata, hidung atau
mulutnya yang terlihat aneh. Tidak ada yang terlalu besar atau kecil. Nilai
akademisnya juga biasa-biasa saja. Untuk orang seperti dia yang penampilannya
biasa-biasa saja, Shiramori Asumi adalah orang yang jauh di luar jangkauannya.
Cukup jauh sebenarnya, cukup jauh sehingga dia harus
bertanya-tanya apakah mereka berasal dari planet yang sama. Meskipun
keberadaannya sangat jauh, Sousei sebenarnya penasaran tentangnya.
Rasa penasaran itu bukannya tidak beralasan. Bukan
karena dia lebih cantik dari yang lain, atau alasan apapun mengenai penampilan
fisiknya.
Itu karena tatapannya.
Shiramori, yang baru bergabung dengan kelas yang sama
dengannya tahun ini, terus mencuri-curi pandang padanya dari waktu ke waktu
karena suatu alasan.
Apakah itu hanya bayanganku? Mungkin itu
semua hanya ada di kepalaku. Aku pasti terlalu sensitif—atau memang begitu?
Pada awalnya, itulah yang dia pikirkan. Namun, tindakan
itu terus berlanjut hingga ia terpaksa menyimpulkan bahwa hal itu memang
disengaja. Shiramori sangat jelas mencuri pandang padanya, dan pada frekuensi
yang tidak wajar.
Mungkinkah...
Setelah itu, Sousei mulai mempertimbangkan.
Kamu tidak bisa menilai buku dari
sampulnya... Meskipun, terkadang itu mungkin benar. Mungkinkah Shiramori-san
juga punya ‘pekerjaan’ yang sama denganku...?
Jika memang memungkinkan, setidaknya ketika di
sekolah, Sousei ingin menjadi seperti siswa SMA normal yang bisa ditemukan di
mana saja.
Mengesampingkan kuantitas, selama dia bisa memiliki
beberapa teman seperti Hayashi Yukisada. Bisa mengikuti pelajaran setiap hari
seperti ini, dan berpartisipasi dalam acara sekolah sesekali. Gaya hidup
seperti ini sangat berharga bagi Sousei.
Mengatakan bahwa ia penasaran dengan Shiramori mungkin
adalah cara yang salah untuk mengatakannya. Sousei memiliki kecurigaan
terhadapnya. Dia selalu waspada terhadapnya.
Dan Shiramori secara kebetulan bertemu dengan Yukisada
dalam perjalanan pulang ke rumah beberapa hari yang lalu.
"Kami berdua sedang sendirian. Aku hanya
mendengarkan musik dengan headsetku. Oh, tunggu. Itu bukan bagian yang
penting."
Benar. Itu sama sekali tidak penting.
"Shiramori-san bilang padaku, 'Tolong aku
Hayashi, kamu dekat dengan Takarai, kan?’ Jadi aku katakan padanya, ‘ya, kami
berteman."
'Ya, kami berteman'...
Sousei merasa hatinya sedikit tersentak mendengarnya.
Ya, ya... huh. Kita berteman...
Kedengarannya bagus...
Dia tidak pernah bertemu Yukisada di luar sekolah.
Mereka bertukar kontak di Line dan saling berkirim pesan satu atau dua kali.
Itu sudah merupakan kedekatan terdekat Sousei dengan siapa pun. Untuk melangkah
lebih jauh, seperti pergi keluar dan bermain sepulang sekolah seperti yang
dilakukan seorang teman pada umumnya, adalah rintangan yang terlalu tinggi
baginya.
"Dan kemudian..."
Yukisada melanjutkan seolah-olah itu bukan masalah
besar.
"Dia bertanya, 'Apa kamu tahu kalau dia punya
pacar?"
"Huh."
Sousei berkedip dua kali. Kemudian, matanya terbuka
lebar.
"... HAH?"
"Itu membuatku berpikir, lalu dia berkata lagi 'Apa
dia sudah punya pacar?’ Dan aku sadar kalau aku tidak tahu."
"Aah..."
Sousei hampir tertawa terbahak-bahak. Meskipun itu
tidak terlalu lucu atau apa pun, ia merasa ingin tertawa.
"Tidak mungkin. Pacar? Aku? Tidak, tidak,
tidak... tidak ada orang seperti itu. Tentu saja tidak ada. Bagaimana mungkin
ada? Orang sepertiku tidak mungkin..."
"Kenapa?"
"Hah? Kenapa? Maksudku, ini aku yang kau
bicarakan. Bagaimana mungkin aku bisa punya pacar?"
"Bagaimana mungkin kamu bisa mengatakan itu tidak
mungkin? Ah..."
Yukisada menyipitkan matanya dan menyeringai.
"Sousei, kau menyebut dirimu sendiri dengan
sebutan 'boku', kan. Itu juga sesuatu yang jarang aku dengar dari orang lain."
"A-apakah begitu? Yah... kurasa aku termasuk
minoritas? Benar, ya..."
Sousei bertujuan untuk menjadi seperti seorang siswa
SMA normal yang bisa ditemukan di mana saja. Oleh karena itu, dia juga mencoba
menyebut dirinya sendiri menggunakan "ore" seperti kebanyakan anak
laki-laki lain di usia pertengahan belasan.
... Rasanya tidak pas. Tidak mudah untuk
menyebut diriku dengan kata "ore". Aku merasa tidak seperti diriku
sendiri. Aku tidak bisa menggunakannya karena itu rasanya memalukan...
"Jadi, tidak apa-apa kalau aku bilang tidak ada,
kan?"
Yukisada mengkonfirmasi ulang dan Sousei mengangguk.
"Ya. Tidak ada yang namanya hal seperti
itu..."
Aku ingin punya pacar.
Ada suatu masa ketika Sousei menginginkan hal itu.
Tapi, itu tidak mungkin. Pertama-tama, tidak ada yang
pernah mengatakan bahwa mereka menyukaiku. Dan mungkin tidak akan pernah ada...
selama sisa hidupku. Orang sepertiku tak mungkin...
Setelah itu, Yukisada sepertinya melaporkan kepada
Shiramori bahwa 'Takarai Sousei tidak punya pacar'.
Setelah itu, ia diminta olehnya untuk menyampaikan
sebuah pesan. Menurut Yukisada, pesan itu rupanya berbunyi seperti ini,
'Datanglah ke lorong sendirian sepulang sekolah hari ini'.
... Pertarungan satu lawan satu? Apakah
begitu?
Gambaran seorang pembunuh dan pria bersenjata api yang
saling berhadapan dalam duel, terlintas di benaknya.
Lorong? Maksudmu di sekolah...?
Lokasinya aneh. Begitu juga duel antara pembunuh dan
penembak. Sebenarnya, mengapa bisa jadi seperti ini?
Apa ini jebakan...?
†
Saat lonceng sebagai tanda akhir pelajaran berbunyi,
Sousei menuju ke lorong.
Tidak ada seorang pun di sana.
Itu wajar saja, mengingat pelajaran baru saja berakhir
beberapa saat yang lalu. Ketika dia keluar kelas dengan segera, Shiramori masih
berada di tempat duduknya. Dia berdiri di tengah lorong sambil menunggu
Shiramori.
Beberapa siswa yang merupakan anggota klub olahraga
lewat di dekatnya, tetapi Shiramori belum muncul.
Dia bisa mendengar suara energik dari para anggota
klub olahraga yang berasal dari gedung olahraga dan lapangan olahraga. Kegiatan
klub sedang berjalan dengan penuh semangat. Satu-satunya orang yang tersisa di
lorong adalah Sousei.
Sousei merasa bingung dan bertanya-tanya apakah ini
bagian dari lelucon atau tidak. Dia tidak tahu apapun tentang perangkap yang
mungkin ada. Selain itu, Shiramori tidak ada di tempat. Sousei merasa yakin
bahwa ini memang lelucon.
Sousei merasa malu dan kecewa dengan dirinya sendiri
karena tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan situasi ini. Ia merasa gagal
tanpa alasan yang jelas. Dia memutuskan untuk kembali ke ruang kelas.
Ketika Sousei hampir berlari, tiba-tiba Shiramori
muncul di ujung lorong.
Dia tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Shiramori
melihat ke arahnya, seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun, dia berhenti dan mendekatinya
dengan tenang.
Wow. Kakinya panjang...
Sousei tidak bisa menahan diri untuk tidak menatapnya
langsung dan menundukkan kepalanya. Dengan melakukan itu, dia malah menatap
kakinya.
... Hmm?
Dia tiba-tiba menyadari sesuatu.
Ini berbeda?
Kaki Shiramori tidak hanya panjang.
Mereka indah.
Terlalu indah sebenarnya. Penampilan kakinya membuat
sesuatu berbunyi di benaknya.
Kakinya terawat dengan baik, tetapi hanya dalam arti
estetika. Apakah dia menjalani pelatihan khusus untuk kaki-kaki itu? Apakah
kakinya mampu berlari dengan kecepatan tinggi atau melakukan lompatan yang
tinggi? Apakah kaki-kaki itu bisa menendang musuh sampai mati tanpa henti?
Jawabannya adalah "Tidak".
Singkatnya, kaki-kaki indah itu hanya untuk pajangan,
tanpa ada penekanan pada kemampuannya.
Shiramori berhenti di depan Sousei.
"Maaf."
Suaranya terdengar lirih.
"... Ada terlalu banyak orang di sekitar sini.
Kau datang dengan cepat, Takarai."
"Oh, kerumunan orang-orang itu..."
Memang, ada banyak sekali murid dan guru yang lewat
sampai beberapa saat yang lalu.
Apakah itu sebabnya dia terlambat? Karena dia menonton
dari suatu tempat dan menunggu sampai kerumunan bubar sebelum muncul...? Jika
itu yang terjadi...
Sousei merasa skeptis.
... Apakah ini sebuah duel?
"Kudengar kau tidak punya pacar. Apakah itu
benar, Takarai?"
Ketika dia tiba-tiba menyatakan apa yang seharusnya
sudah dia ketahui, dia tanpa sadar mundur selangkah, menabrak salah satu pilar
lorong.
"A-AKU-..."
Sosei melihat sekilas pada bagian wajah Shiramori.
Bibirnya tampak lembut. Anehnya, bibirnya terlihat mengkilap. Seperti ada
sesuatu yang lain yang dioleskan pada bibirnya daripada sekedar lip balm yang
membuatnya berkilau.
"... tidak punya pacar."
"Kamu tidak perlu terlalu gugup."
Shiramori tertawa kecil dan menyibak rambut
kecoklatannya.
Sousei meremas dadanya. Semacam aroma, mungkin parfum,
tercium oleh hidungnya. Mungkin karena itu, area di sekitar dadanya menegang.
Detak jantungku...
"Dengar."
Dia mulai berbicara, mengetuk lantai dengan tumit kaki
kirinya. Dia menghadap ke lantai saat dia berbicara.
"Kamu bisa menolak jika kamu tidak mau."
"Menolak?"
Sousei merasa pusing.
"... Menolak? A-Apa...?"
Dia mengangkat kepalanya sedikit dan menatapnya dengan
mata terbalik.
"Maukah kamu..."
Sekolah melarang para gadis untuk memakai riasan,
tetapi Shiramori memakainya saat ini. Namun, itu sangat tipis sehingga kamu
hampir tidak bisa membedakannya. Jika Sousei mengingatnya dengan benar, dia
tidak memakainya saat mereka masih di dalam kelas. Dengan kata lain, dia
memakainya pada saat pelajaran berakhir dan saat dia datang. Wajahnya begitu
merah merona, karena make-up yang ia kenakan.
"Tolong berkencanlah denganku!"
Sousei berdiri mematung di tempat selama sekitar
setengah lusin detik.
Huh... kenapa aku begitu bingung?
Pertanyaan itu muncul di benaknya. Rasanya sakit. Dia
tidak tahu kapan, tapi dia telah berhenti bernapas. Kalau begini terus, dia
akan mati kehabisan napas. Jadi, dia menarik napas. Menghembuskan napas dan
menghirupnya lagi. Ketika dia akhirnya bernapas dengan normal, dia memberikan
jawabannya.
"Oke."
†
Sousei meninggalkan lorong itu. Dia hendak pulang ke
rumah, jadi dia harus kembali ke kelas untuk mengambil tasnya.
... Apakah itu semua hanya mimpi?
Dia mengatakan kepada Shiramori bahwa dia tidak
memiliki instagram, jadi mereka saling bertukar id di Line. Itu agak
samar-samar sekarang, tapi dia masih ingat sampai sekarang.
Itu benar. Aku ingat. Jadi, itu berarti
itu benar-benar terjadi...?
Dia hendak mengeluarkan ponselnya dari sakunya, tapi...
Aku akan tahu pasti jika aku memeriksanya.
Tapi entah kenapa, aku tidak mau...
Setelah beberapa pertimbangan, dia memutuskan untuk
tidak melakukannya.
Kembali ke kelasnya, dia baru saja akan mengambil
tasnya. Tepat saat itu…
Sesuatu di dalam kelas berdentang. Dia mengira ruang
kelas sepulang sekolah akan kosong, tapi ternyata tidak.
Seseorang ada di sana.
Di tempat duduk paling belakang dekat jendela.
Seorang gadis duduk di sana.
"!"
Sousei tersentak kaget. Ia menabrak meja di
sebelahnya, menimbulkan suara gaduh.
Gadis itu berbalik menghadapnya, dagunya bertumpu pada
tangannya.
Sorot matanya tajam. Sangat tajam. Sangat tidak
normal. Tidak berlebihan jika disebut seperti pisau. Dan bukan sembarang pisau,
tapi belati bermata dua yang digunakan secara khusus untuk melukai orang lain.
... Hitsuzimoto-san, ya.
Dia buru-buru menata ulang meja, lalu menggendong
tasnya di bahunya.
Kecuali dia punya tugas piket kebersihan, Sousei
selalu meninggalkan kelas lebih awal sebelum orang lain saat pelajaran
berakhir. Karena itu, dia tidak tahu keadaan kelas sepulang sekolah. Namun,
satu hal yang dia tahu adalah bahwa kelas itu sunyi ketika dia kembali. Tidak
ada satu pun suara atau bunyi. Oleh karena itu, dia mengira bahwa ruang kelas
itu kosong.
... Aku selalu membayangkan dia adalah
orang yang akan pergi dengan cepat setelah sekolah berakhir, seperti aku...
Orang-orang selalu memanggilnya, Hitsuzimoto Kuchina,
dengan sebutan "Hitsuzimoto-san".
Tidak ada yang aneh dengan hal itu. Nuansa di balik
teman-teman sekelasnya yang menambahkan "-san" di belakang namanya
itulah yang agak istimewa. Di luar kesopanan dan kasih sayang yang biasa
disampaikan oleh sebutan kehormatan itu, ada emosi lain di baliknya.
Entah sejak kapan, orang-orang di kelas mengatakan hal
berikut ini tentangnya:
Mata itu pasti mata seseorang yang pernah
membunuh.
Hitsuzimoto memiliki mata sanpaku.
Sederhananya, tatapan matanya tampak antagonis. Selain itu, warna iris matanya
gelap, membuat matanya terlihat seperti jurang maut.
Sebagai permulaan, penampilannya memang aneh. Meskipun
sekarang ini sedang musim panas, ia mengenakan stoking hitam penuh. Entah
mengapa, ia juga mengenakan sarung tangan yang tidak pernah dilepaskannya.
Apakah ada alasan tertentu yang membuatnya tidak ingin memperlihatkan kulitnya?
Itu tidak diketahui. Dia mungkin juga tidak akan menjawabnya jika ditanya.
Dia tidak berbicara dengan siapa pun. Satu-satunya
waktu dia berbicara adalah ketika memberikan absensi atau ketika dipanggil
selama pelajaran.
Semua orang menganggap Hitsuzimoto sebagai orang yang
aneh. Beberapa orang mencoba mendekatinya karena penasaran di masa lalu, tetapi
mereka semua ditolak. Mereka yang secara tidak sengaja berdiri di jalurnya akan
dipelototi dengan tajam oleh tatapannya yang menakutkan. Sorot matanya yang
seperti belati itu seperti mengiris-iris seseorang menjadi beberapa bagian. Tak
lama kemudian, tidak ada yang berani mendekatinya. Seperti kata pepatah, jangan
mencolek beruang yang sedang tidur.
I-Ini sangat tajam...
Sousei tanpa sadar mundur selangkah. Dia tidak bisa
mengalihkan pandangannya dari wanita itu. Namun, jika dia terus berjalan
mundur, dia akan menabrak meja orang lain lagi. Oleh karena itu, dia
membelakangi wanita itu.
Aku ingin tahu apakah dia ada di klub mana
pun. Mungkin tidak? Ya, kemungkinan besar...
Tepat sebelum dia meninggalkan kelas, dia berbalik
untuk menatapnya lagi.
Jika itu bukan Hitsuzimoto-san, mungkin akan normal
untuk setidaknya menyapa, kan? Rasanya tidak sopan untuk mengabaikan seseorang
seperti itu. Setidaknya aku harus memanggilnya, kupikir...
Sousei bertujuan untuk menjadi seperti siswa SMA
normal yang bisa ditemui di mana saja. Dengan demikian, dia terpaku pada
bagaimana rasanya menjadi seorang siswa SMA yang normal. Dia tidak tahu persis
apa yang diperlukan untuk itu. Tapi tetap saja, dia berusaha sebaik mungkin
untuk memenuhi citra seorang siswa SMA yang normal.
"Selamat tinggal…."
Dia mengeluarkan kalimat itu seolah-olah meremasnya
dari tenggorokannya dan beranjak pergi. Tepat sebelum dia keluar dari pintu,
sebuah suara pelan mencapai telinganya.
"Selamat tinggal juga."
"... Hah?"
Dia secara refleks berbalik.
Hitsuzimoto masih bersandar di atas meja dengan dagu di tangannya dan menghadap ke luar jendela.
Sousei tetap seperti itu selama lima detik.
Namun, Hitsuzimoto tidak bergerak sedikitpun.
... Apakah itu ilusi pendengaran? Tidak,
sepertinya tidak. Aku benar-benar mendengarnya. Itu pasti Hitsuzimoto-san.
Tapi...
Dia membungkukkan badan sedikit dan meninggalkan
kelas. Saat dia menuruni tangga, ponselnya bergetar.
A-Apa. Harusnya ini dari kantor, kan? Ya,
benar. Ini berhubungan dengan pekerjaan...
Dia menarik napas dalam-dalam sebelum mengeluarkan
ponselnya. Layarnya menampilkan notifikasi Line.
"Atau mungkin itu Yukisada..."
Sousei mengusap layar kunci dan menekan notifikasi
tersebut. Ia hampir terjatuh saat melihat pengirimnya. Ternyata bukan Yukisada.
"Asumi...."
Tentu saja, itu tak lain dan tak bukan adalah
Shiramori Asumi. Tidak mungkin orang lain. Ada angka "2" di sebelah
"Teman" pada layar utama Line dan nama yang ditampilkan di bawahnya
adalah "Hayashi" dan "Asumi", yaitu Hayashi Yukisada dan
Shiramori Asumi.
Dia mengetuk halaman chat dengan jari-jarinya yang
gemetar.
'Bisakah aku meneleponmu sekarang?'
"TIDAAAAAAAAK!?"
Dia akan jatuh dari tangga jika dia tidak segera
memegang pagar.
A-Apa... aku harus membalas apa...? T-T-Tapi
apa yang harus aku tulis...?
Sementara itu, saat ia meraba-raba tanpa melakukan
apa-apa, ponselnya bergetar lagi.
Kali ini bukan pesan, melainkan sebuah telepon.
"I-Ini dari S-Shiramori-san...?"
Ia secara refleks menekan tombol angkat.
[Halo.]
Sial... Itu benar-benar suara
Shiramori-san...
Apa maksudmu sial. Dia benar-benar bingung dan bahkan
tidak tahu siapa yang dia maki. Bagaimanapun, sekarang dia menjawab panggilan
itu, dia harus mengatakan sesuatu. Tidak mungkin dia bisa memutuskannya tepat
setelah mengangkatnya, berbicara dalam hal apa yang akan dilakukan oleh seorang
siswa SMA normal, tidak, sebagai manusia yang baik.
"... Yaa... H-Halo...?"
[Takarai?]
"... Y-Ya."
[Aku meneleponmu.]
"... Uh huh."
[Di mana kamu sekarang?]
"... D-Dimana? Hah? Oh... A-Aku masih di
sekolah."
[Huh, kau masih di sana.]
"... Ya."
[Hmm...]
"..."
[......]
"........."
[Aku sedang berpikir.]
"Y-Ya?"
[Ya, ya.]
"... U-Um."
[Bolehkah aku memanggilmu dengan nama depanmu?]
"... Eh?"
[’Sousei’. Seperti itu.]
"... Ah... Um... Maksudku..."
[Kamu tidak menyukainya?]
"T-Tidak... tidak... Maksudku y-ya... tidak...
Um, itu..."
[Aku berharap kamu bisa memanggilku dengan nama depanku
juga, ya?]
"... Nama depanmu...?"
[Teman-temanku punya banyak nama panggilan untukku.
Seperti 'Asumick', atau seperti 'Asumin' dan sebagainya.]
"... A-A-A-AAAAAAsumicKK..."
[Mungkin 'Asumi' saja tidak apa-apa.]
“A-A-A-A-A-Asumi….”
[A’ nya terlalu panjang.]
"... maaf..."
[Kalau begitu, tolong panggil aku 'Asumi'.]
"........."
Tanpa disadari Sousei telah berjongkok di tengah
tangga tanpa sadar. Nafasnya tidak menentu. Sangat tidak menentu. Ia berusaha
sekuat tenaga untuk menenangkan napasnya.
... Sudah cukup lama waktu berlalu dan aku terdiam
seperti ini sepanjang waktu...
Hal ini tidak bisa dibiarkan berlanjut. Dia menguatkan
tekadnya.
"A-Asumi."
[... Woah!]
"Hah?"
[... Jantungku berdebar-debar.]
Itu...
Sosei langsung berkeringat dingin.
Itu harusnya kalimatku...
Komentar
Posting Komentar