Seishun Buta Yarou Volume 15 - Chapter 4

 


Chapter 4

Hello, Goodbye

 

1

 

Hari itu, Azusagawa Sakuta berdiri di depan gerbang SMA Minegahara dengan mengenakan setelan jas.

Tanggal 13 Mei, hari Senin. Cuaca cerah.

Waktu menunjukkan pukul 07.50 pagi.

Karena masih sangat pagi, tak ada siapa pun di sekitar.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, menjelang dimulainya pertemuan pagi, barulah tempat itu akan dipenuhi oleh siswa-siswi SMA Minegahara.

Jadi, dengan perasaan seperti sedang “memiliki sekolah ini sendiri,” Sakuta melangkah masuk melewati gerbang.

Dengan langkah perlahan dan hati yang diliputi nostalgia, ia berjalan di jalan menuju gedung sekolah.

Sudah tiga tahun berlalu sejak Sakuta lulus dari SMA Minegahara.

Tahun ini menandai musim semi keempatnya sebagai mahasiswa.

Ketika semakin dekat dengan gedung sekolah, terdengar suara teriakan latihan pagi klub basket dari arah gedung olahraga. Suara bola memantul, bercampur dengan derit sepatu di lantai kayu.

Mendengarkan suara-suara dari belakangnya, Sakuta masuk ke gedung sekolah melalui pintu yang digunakan oleh staf pengajar. Ia melepas sepatu kulit yang belum terbiasa ia kenakan, menggantinya dengan sandal dalam ruangan, lalu menaiki tangga di sisi kiri menuju lantai dua.

Dengan mengandalkan ingatan masa SMA-nya, ia berjalan menuju ruang guru.

Koridor masih kosong. Di ujungnya, di atas pintu, tertulis “Ruang Guru.”

Sakuta menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu.

“Selamat pagi semuanya. Saya Azusagawa Sakuta, guru magang yang mulai bertugas di sini hari ini.”

Ia menundukkan kepala sedikit, memberi salam dengan suara cukup keras agar semua mendengar.

Para guru yang sedang duduk di mejanya masing-masing menoleh sejenak ke arahnya.

Namun sebagian besar segera kembali melanjutkan pekerjaan mereka.

Satu-satunya yang merespons adalah seorang guru laki-laki yang duduk di meja bagian dalam ruangan.

“Oh, Sakuta, kau sudah datang ya?”

Guru yang melambaikan tangan itu adalah guru bahasa Inggris yang menjadi wali kelas Sakuta selama dua tahun, di kelas dua dan tiga. Sakuta pun menghampiri pria itu.

“Tapi saya ditugaskan di bidang matematika, kan? Sensei mengajar bahasa Inggris, bukan?”

“Guru matematika, Atsugi-sensei, tidak menjadi wali kelas. Jadi untuk jam pertemuan kelas, kau akan masuk ke kelas 3-1 yang saya pegang.”

Guru itu menjelaskan alasannya.

“Saya mengerti.”

“Tidak kusangka, Sakuta, kau kembali ke sini sebagai guru magang.”

Guru itu menatap Sakuta dengan ekspresi penuh kenangan.

“Apakah Anda merasa terkejut?”

“Tidak juga, entah kenapa aku sudah punya firasat seperti ini.”

Ia tersenyum bangga, seperti seorang guru yang puas melihat muridnya tumbuh.

“Apakah ada hal yang kau inginkan selama masa magang ini?”

“Kalau boleh, saya ingin mencoba menjadi pembimbing klub.”

“Kau ingin membimbing klub apa?”

“Kalau masih ada, saya ingin bergabung dengan Klub Biologi.”

“Masih ada kok. Baiklah, nanti akan saya atur.”

Guru itu mengangguk, lalu menyerahkan buku absensi kepadanya.

“Ini, bawa ini.”

“Baik, terima kasih.”

Sakuta menerima buku absensi kelas 3-1 itu.

Setelah pertemuan kelas dimulai, Sakuta diperkenalkan sebagai guru magang dan tentu saja melakukan perkenalan diri.

“Saya Azusagawa Sakuta. Mata pelajaran yang saya tangani adalah matematika, tapi selama masa magang ini saya hanya akan mengikuti jam pertemuan kelas di kelas ini. Saya juga dulu bersekolah di SMA Minegahara seperti kalian. Mohon bimbingannya.”

Setelah mengatakan itu di depan papan tulis, ruang kelas yang semula sedikit gaduh langsung dipenuhi tepuk tangan meriah.

Jumlah siswa di kelas itu ada tiga puluh lima orang.

Sebagian besar menatapnya dengan rasa ingin tahu, sementara sebagian kecil mencoba bersikap cuek.

Di barisan paling depan, ada satu siswa yang dikenalnya—Makinohara Shouko, kini sudah duduk di kelas tiga.

Shouko tersenyum cerah menyambut kehadiran Sakuta sebagai guru magang.

“Azusagawa-sensei, boleh saya bertanya?”

Begitu tepuk tangan berhenti, seorang siswa laki-laki di belakang kelas mengangkat tangan.

Ia tersenyum lebar—jelas anak yang suka bercanda di kelas.

Sakuta melirik ke arah guru wali kelas untuk memastikan.

Guru itu mengangguk memberi izin.

“Silakan, pertanyaannya apa?”

Sakuta sudah bisa menebak apa yang akan ditanyakan. Lagipula, sebagai siswa sekolah ini, mereka pasti tahu dengan siapa Sakuta berpacaran

“Sensei, benarkah Anda berpacaran dengan Sakurajima Mai?”

Pertanyaan yang sudah ia duga itu membuat sudut bibir Sakuta terangkat.

Semua siswa menatapnya dengan ekspresi nakal namun polos.

Hanya Shouko di barisan depan yang menatap seolah berkata, “Dasar anak-anak ini…”

“Itu benar,” jawab Sakuta dengan tenang setelah jeda sejenak.

Sekeliling kelas langsung meledak dalam hiruk-pikuk. Para siswa laki-laki berseru kagum—“Keren banget!” “Beneran, nih!”—sementara siswi-siswi menjerit pelan menahan heboh.

Untuk ukuran guru magang, Sakuta berhasil menarik perhatian seluruh kelas dengan sempurna.

“Baik, semuanya tenang,” ujar guru wali kelas mencoba menertibkan.

Namun suasana kelas 3-1 tetap ramai cukup lama setelah itu.

Bel tanda akhir jam pertemuan pagi berbunyi.

Sakuta keluar dari kelas bersama wali kelas menuju koridor, bersiap untuk pelajaran pertama. Namun dari belakang terdengar langkah cepat menyusul.

“Sakuta-san.”

Sakuta menoleh.

Tentu saja, hanya Shouko yang memanggilnya seperti itu.

“Ah, seharusnya kupanggil ‘Sakuta-sensei’, ya?”

Shouko menjulurkan lidah, menyadari kesalahannya.

“Kalau menurut aturan, harusnya ‘Azusagawa-sensei’,” koreksi Sakuta sambil tersenyum.

Namun Shouko hanya tertawa, jelas tidak berniat memanggilnya begitu.

“Kalian saling kenal?” tanya wali kelas dengan nada heran melihat interaksi mereka.

“Kami punya hubungan yang cukup dekat,” jawab Shouko dengan nada menggoda, seolah ingin menimbulkan salah paham.

Wajah wali kelas tampak bingung sejenak.

“Kalau begitu, kau tahu tentang kondisi kesehatan Makinohara, kan?”

Ia bertanya lagi seolah baru teringat sesuatu yang penting.

“Tahu,” jawab Sakuta singkat.

“Syukurlah. Karena Makinohara adalah ketua Klub Biologi, jadi kau bisa langsung membicarakan hal itu dengannya.”

“Hal itu?”

Mendengar ucapan itu, Shouko menatap Sakuta dengan rasa ingin tahu.

“Aku memang berniat menjadi pembimbing untuk Klub Biologi,” kata Sakuta.

“Dan kebetulan aku juga ingin memintamu jadi pembimbingnya,” balas Shouko.

“Tidak kusangka, ternyata kau ketua klub.”

Melihat ekspresi terkejut Sakuta, Shouko tersenyum puas seperti seseorang yang berhasil membuat leluconnya berhasil.

“Aku sengaja merahasiakannya sampai hari ini,” katanya dengan nada jenaka.

 

2

 

Setelah mengikuti pelajaran hingga jam keenam dan menghadiri pertemuan kelas sebelum pulang, Sakuta juga sempat mampir ke kegiatan Klub Biologi. Menjelang pukul lima sore, ketika langit mulai memerah oleh cahaya senja, berakhirlah hari pertama dari masa praktik mengajarnya.

Setelah berpamitan dengan Shouko dan para anggota Klub Biologi, Sakuta menulis laporan harian di ruang guru. Ketika akhirnya ia meninggalkan sekolah, waktu sudah menunjukkan lewat pukul enam.

Sudah lama sejak jam pulang sekolah berlalu, sehingga tak ada lagi siswa yang terlihat di jalan menuju Shichirigahama. Dalam perjalanan pulang, Sakuta kembali merasakan perasaan “memiliki sekolah sendirian,” berjalan menuju stasiun dan naik Enoden — kereta yang dulu ia gunakan setiap hari saat SMA. Tubuhnya bergoyang perlahan mengikuti getaran kereta menuju Fujisawa.

Begitu turun dari kereta, ia berjalan mengikuti para penumpang yang turun lebih dulu, melewati gerbang pemeriksaan tiket yang ramai. Di jam seperti ini, selain warga lokal, tampak juga beberapa wisatawan.

Keluar dari stasiun Enoden, Sakuta menuju pintu utara stasiun. Di tengah perjalanan, ia bergabung dengan arus orang yang baru keluar dari gerbang JR dan Odakyu.

Saat melangkah di jembatan penyeberangan, diterangi lampu dari toko elektronik besar di depannya…

“Tebak siapa aku~!”

Sakuta tiba-tiba dipeluk dari belakang, kedua matanya ditutup oleh sepasang tangan kecil.

Suaranya adalah suara perempuan yang sangat dikenalnya.

“Himeji-san, ya?”

“Bzzzt! Salah~!”

Suara itu menjawab dengan nada riang, lalu kedua tangannya dilepaskan dari mata Sakuta.

Saat Sakuta berbalik, di hadapannya berdiri seorang gadis berpakaian kasual yang terlihat anggun — Sara.

“Jawaban yang benar adalah Himeji Sara, yang sekarang sudah menjadi mahasiswi cantik!”

Ia menepuk tangannya gembira sambil tersenyum lebar.

Di belakangnya berdiri Tomoe.

“Sudah lama tidak bertemu kalian berdua,” sapa Sakuta.

“Senpai, sudah dua bulan sejak berhenti kerja paruh waktu di restoran itu, ya? Terakhir kita ketemu pas acara perpisahan. Tapi entah kenapa, kayaknya Senpai kelihatan lebih tua deh,” kata Tomoe sambil menatap Sakuta yang mengenakan jas dengan ekspresi geli.

“Tomoe, tahun depan kau juga akan mulai mencari kerja, jadi hati-hati, ya,” balas Sakuta.

“Hati-hati apanya?”

“Jangan sampai orang-orang mengira kau anak kecil yang baru mau ikut upacara Shichi-Go-San.”

“Tidak mungkin lah!”

Tomoe tertawa, menampik dengan ekspresi seolah berkata, “Siapa juga yang bakal percaya begitu?”

Namun, bantahan berikutnya datang dari arah yang tak terduga.

“Kalau soal Tomoe-senpai, mungkin saja, lho. Hari ini di kampus, dia bahkan dikira masih mahasiswi tahun pertama, sampai-sampai didekati tim perekrut klub.”

Sara menampilkan senyum nakal sambil melaporkan dengan gaya menggoda.

“Itu karena aku jalan bareng kamu, tahu!”

Tomoe langsung membela diri dengan nada tegas, seolah ingin menegaskan bahwa kesalahpahaman tadi bukan salahnya.

“Pokoknya, tahun depan aku akan menunggu dan melihat bagaimana hasilnya,” ujar Sara ringan.

“Kalau nanti aku pakai setelan jas kerja, aku bakal pastikan untuk tidak bertemu dengan Senpai,” balas Tomoe.

“Aku akan kirimkan fotonya padamu,” bisik Sara dengan santai di telinganya.

“Ngomong-ngomong, aku sebenarnya cukup kaget waktu tahu Himeji-san memilih universitas yang sama dengan Koga,” ujar Sakuta.

“Kalau mau belajar tentang pendidikan anak usia dini, universitas itu memang bagus kok,” jawab Sara.

“Aku juga cukup kaget, jujur saja,” kata Sakuta lagi.

“Pak Guru Sakuta, apa Anda pikir saya ini tipe gadis malang yang cuma bisa hidup kalau terus dipuja-puja oleh laki-laki?” tanya Sara dengan nada tajam namun menggoda.

“Tidak bisa dibilang aku tidak pernah berpikir begitu,” jawab Sakuta dengan tawa kecut, menyadari pikirannya terbongkar.

“Tidak masalah kalau di kampus tidak banyak laki-laki. Aku tetap bisa jadi pusat perhatian di acara kencan bareng universitas lain,” kata Sara tanpa ragu, nada suaranya penuh percaya diri.

“Tapi, kemarin yang paling populer justru Tomoe-senpai, lho,” tambahnya sambil melirik nakal ke arah Tomoe.

“Oh, begitu ya~,” sahut Sakuta dengan nada menggoda.

“Itu… itu bukan acara kencan bareng! Itu cuma acara pertukaran rutin antar kampus!” teriak Tomoe berusaha membantah.

“Tapi waktu itu banyak cowok yang minta kontakmu, kan?” tanya Sara dengan nada jahil.

“Oh begitu ya~,” ulang Sakuta lagi dengan senyum jahil.

“Itu karena nanti kami akan saling bantu di acara festival kampus dan semacamnya…” suara Tomoe makin lama makin pelan, sampai akhirnya nyaris tak terdengar.

“Aku harus kerja paruh waktu, jadi aku duluan ya!” seru Tomoe, buru-buru mencari alasan untuk kabur.

“Ah, tunggu, aku juga ada shift kerja!” jawab Sara cepat, lalu berlari mengejarnya.

Namun setelah beberapa langkah, Sara tiba-tiba berseru pelan, “Ah!” seolah baru teringat sesuatu, kemudian berhenti setelah tiga langkah.

“Ngomong-ngomong, apa Sensei sudah dengar dari Rio-sensei soal itu?”

“Soal apa?” tanya Sakuta.

“Kayaknya Toranosuke akhirnya menyatakan perasaan lagi pada Rio-sensei.”

“Itu kabar yang bagus. Kebetulan aku juga mau langsung ke tempat les sekarang,” jawab Sakuta sambil tersenyum tipis.

Sara melambaikan tangan sambil berkata ceria, “Kalau begitu, sampai jumpa lagi ya,” lalu benar-benar berlari mengejar Tomoe yang sudah lebih dulu pergi.

Ketika Sakuta masuk ke ruang bimbingan belajar, ia melihat beberapa siswa yang baru pulang sekolah sedang berkumpul di area bebas sambil bercanda. Sekelompok siswi tampak asyik membicarakan hal-hal seperti pacar baru dan kisah cinta mereka.

“Oh, Pak Azusagawa. Setelan jasnya keren juga,” sapa kepala bimbingan belajar yang sedang membeli kopi kaleng di mesin otomatis.

“Karena mulai hari ini saya menjalani praktik mengajar di sekolah,” jawab Sakuta sopan.

“Kalau nanti tidak diterima jadi guru, datang saja kerja di sini,” canda sang kepala.

“Saya akan berusaha keras agar tidak sampai merepotkan Anda,” balas Sakuta dengan senyum kecut.

Mendengar jawabannya, kepala bimbel tertawa kecil lalu kembali ke ruang staf.

Tak lama kemudian, seolah menggantikan kepergiannya, Futaba keluar dari arah ruang kelas dengan mengenakan jas putih khas pengajar bimbel. Sepertinya ia baru saja selesai mengajar.

“Futaba,” panggil Sakuta.

Mendengar namanya, Futaba menoleh ke arahnya.

“Jadi mulai hari ini, ya,” ujarnya sambil menatap pakaian formal Sakuta, langsung menebak situasinya.

“Tadi Shouko-chan sempat menghubungiku,” lanjut Futaba.

“Oh? Dia bilang apa?”

“Katanya, perkenalan dirimu tadi sangat populer,” jawab Futaba santai.

“Untuk hari pertama, itu pencapaian yang bagus, kan?” kata Sakuta dengan nada puas.

“Asal Shouko senang, berarti sudah cukup,” jawab Futaba datar sambil melangkah menuju mesin penjual otomatis. Ia menempelkan ponselnya untuk membayar, lalu membeli sebotol kopi au lait.

“Ngomong-ngomong, Futaba…”

“Ada apa?” tanya Futaba sambil membuka tutup botol dan menyesap sedikit minumannya.

“Kau tidak ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku?”

“Tidak ada,” jawabnya cepat, tapi ia mengalihkan pandangan — jelas sedang berbohong.

“Padahal kamu baru saja dua kali ditembak oleh Kasai-kun, kan?”

Futaba langsung menatap tajam ke arah Sakuta. Namun ekspresinya setengah malu, jadi tatapan itu sama sekali tidak menakutkan.

“Yah, waktu Kasai sakit demam pas hari ujian dan gagal masuk universitas pilihannya, aku cukup khawatir juga,” kata Sakuta mengenang. “Untungnya setelah dia ulang tahun dan mencoba lagi, akhirnya dia berhasil masuk universitas yang dia inginkan.”

Saat mendengar Kasai gagal, Sakuta memang sempat serius memikirkan bagaimana keadaannya nanti. Kasai sempat dapat nilai tertinggi, peringkat “A” di simulasi ujian terakhir, jadi kegagalannya terasa cukup memukul.

“Kau sudah memberi jawaban padanya?”

“Kami sempat makan bersama,” jawab Futaba pelan.

“Di mana?”

“Di kafetaria kampus,” suaranya semakin kecil, hampir tak terdengar.

“Kalau itu kencan, bukannya seharusnya di tempat yang lebih romantis?”

“Kami sudah janji lain kali akan pergi ke Tsukuba bersama.”

Futaba menatap ke arah lain saat akhirnya mengaku.

“Di Tsukuba memang ada apa?” tanya Sakuta penasaran.

“Aku yang mengajaknya. Aku ingin berkunjung ke pusat luar angkasa di sana.”

“Kedengarannya seru juga. Mungkin aku akan diam-diam ikut,” kata Sakuta menggoda.

Futaba menatapnya dengan pandangan sedingin es.

“Bercanda, kok,” ucap Sakuta cepat-cepat.

“Haa…” Futaba menghela napas panjang di depan Sakuta, seolah sudah lelah dengan sikapnya.

“Eh, Azusagawa…”

“Hm?”

“Mungkin sebaiknya aku baru memberi jawaban setelah kencan ketiga, ya?” katanya dengan pipi yang mulai bersemu merah.

“Ya, secara umum memang seperti itu,” jawab Sakuta sambil menahan senyum.

“Baiklah, akan kupikirkan,” kata Futaba dengan nada setengah malu.

Melihat situasi itu, Sakuta berpikir dalam hati: dengan Toranosuke yang sudah memendam perasaan padanya selama dua tahun, bahkan strategi menunggu lama pun tidak akan jadi masalah. Tapi ia memutuskan untuk tidak mengatakannya keras-keras.

 

3

 

Senin minggu berikutnya, tepat satu minggu setelah dimulainya praktik mengajar. Tanggal dua puluh Mei.

Sakuta terbangun karena wajahnya diinjak oleh Nasuno. Saat keluar dari kamar, ia melihat Kaede sedang menyiapkan sarapan. Ruangan dipenuhi aroma roti panggang yang harum.

“Ah, selamat pagi, Onii-san,” sapa Kaede ceria.

“Pagi,” jawab Sakuta sambil meregangkan tubuh.

“Hari ini Kakak libur dari praktik mengajar dan harus ke kampus, kan?”

“Iya, betul,” ujarnya sambil menyesap kopi yang diseduh Kaede.

“Aku barusan bicara dengan Nodoka-san. Katanya, saat dia berangkat kerja dengan mobil, bisa sekalian mengantar aku. Mau sekalian aku minta dia antar Onii-san juga?”

“Boleh juga. Aku memang ada hal yang ingin kubicarakan dengan Toyohama,” jawab Sakuta sambil menggigit roti panggangnya.

Mobil berangkat tepat waktu agar bisa tiba di kampus sebelum jam kuliah kedua dimulai.

Yang mengemudi adalah Nodoka, Kaede duduk di kursi penumpang depan, sedangkan Sakuta duduk di kursi belakang, di belakang Kaede.

Mobil itu sebenarnya milik Mai, tapi Mai tidak ikut dalam perjalanan kali ini.

“Eh, Toyohama…” panggil Sakuta dari kursi belakang.

“Ada apa?” tanya Nodoka sambil menghentikan mobil di lampu merah.

“Kudengar Sweet Bullet akhirnya akan mengadakan konser di Nippon Budokan,” kata Sakuta.

“Ya… semacam itu,” jawab Nodoka agak samar.

“Berita itu bahkan sempat jadi trending kemarin,” tambahnya.

“Sudah sering memimpikannya, tapi akhirnya benar-benar terwujud juga, ya,” ucap Sakuta.

“Selamat ya, Nodoka-san,” kata Kaede ikut memberi selamat dengan tulus.

“Terima kasih. Tapi ini juga konser perpisahan, jadi rasanya agak campur aduk,” kata Nodoka dengan senyum tipis.

Itulah sebabnya ia tidak bisa merasa senang sepenuhnya.

“Ah, tentu saja aku tetap bahagia, kok,” ujarnya cepat, berusaha mencairkan suasana agar tidak terlalu muram.

“Kalau setelah lulus dari dunia idol, apa rencanamu nanti, Toyohama?” tanya Sakuta.

“Kurasa… aku akan pulang dulu,” jawab Nodoka pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

“Memang sebaiknya begitu. Lagipula kamu sudah lama kabur dari rumah. Sampaikan juga ucapan selamat dariku untuk Uzuki, ya,” kata Sakuta santai.

“Bilang saja sendiri,” balas Nodoka cepat.

Lampu lalu lintas berubah hijau, dan mobil pun kembali melaju perlahan di jalan menuju kampus.

“Itu juga benar,” gumam Sakuta sambil mengeluarkan ponsel dari saku.

Selamat ya, akhirnya tampil di Budokan.

Ia mengirim pesan singkat itu pada Uzuki.

Tak lama kemudian, tanda “dibaca” muncul, dan balasan langsung datang.

Aku akan berusaha keras jadi yokozuna! Eh, maksudku tampil di Budokan!

“Sekarang dia bahkan bisa bercanda dan menimpali dirinya sendiri. Uzuki sudah banyak berkembang,” ujar Sakuta sambil tersenyum.

“Onii-san, kamu ngomong apa sih?” tanya Kaede heran.

Sebelum sempat menjelaskan, ponselnya berdering—kali ini panggilan masuk.

Nama yang muncul di layar tentu saja “Uzuki”.

Dan ternyata itu panggilan video.

Sakuta menekan tombol terima dan mengangkat ponsel ke depan wajahnya.

Di layar, wajah Uzuki memenuhi seluruh tampilan.

“Ada apa, Uzuki? Kamu terlalu dekat dengan kamera,” ujarnya.

Nii-san, kamu harus datang ke konser Budokan nanti ya!

Uzuki menjauh sedikit dari layar; tampaknya ia juga sedang di dalam mobil.

“Kalau aku bisa dapat tiket, pasti datang.”

Harus ya! Mama, kamu juga ngomong sesuatu dong!

Kamera berpindah ke kursi pengemudi—ibu Uzuki tampak sedang menyetir. “Jangan ganggu mama nyetir!” katanya sambil menyingkirkan ponsel dari depan wajahnya.

Panggilan video pun terputus begitu saja.

“Benar-benar khas Uzuki,” ucap Sakuta, seolah sudah terbiasa dengan sikapnya yang seenaknya.

“Ngomong-ngomong,” kata Nodoka dari depan sambil tertawa kecil, “aku jadi nggak tahan dan ikut ketawa.”

“Kamu ketawa karena terlalu senang, ya?” tanya Sakuta.

“Bukan, aku ketawa karena kamu bilang ‘trending’. Rasanya aneh banget dengar kata itu keluar dari mulutmu,” jawab Nodoka sambil tertawa lebih keras.

Kaede di kursi depan ikut tersenyum. “Iya juga sih.”

Mobil yang dikendarai Nodoka tiba di depan Stasiun Kanazawa-Hakkei dengan sisa waktu lima belas menit sebelum kuliah kedua dimulai.

“Terima kasih, Nodoka-san,” kata Kaede sambil melambaikan tangan.

Setelah mobil menjauh, Sakuta dan Kaede berjalan santai menuju kampus.

Begitu melewati gerbang utama, Sakuta melihat sosok yang dikenalnya di antara kerumunan mahasiswa.

“Pagi, Kotomi!” sapa Kaede sambil berlari kecil.

Gadis yang menoleh itu adalah Kano Kotomi, teman masa kecil Kaede.

“Pagi, Kaede. Pagi juga, Sakuta-niisan,” jawabnya sopan sambil menunduk sedikit.

“Pagi,” balas Sakuta singkat.

Ketiganya berjalan bersama di jalan setapak yang teduh di bawah pepohonan.

“Kotomi, tugas bahasa Inggrismu udah selesai?” tanya Kaede.

“Belum. Kaede, mau ngerjain bareng nanti?”

“Wah, syukurlah,” ujar Kaede lega.

Mereka terus mengobrol seru soal tugas kuliah sambil berbelok ke arah gedung utama. Sakuta berpisah di sana karena ia harus ke gedung riset.

“Aku ke ruang dosen dulu,” katanya.

“Baik, sampai jumpa.” jawab Kaede dan Kotomi sambil menunduk sopan lagi.

Ia lalu berjalan bersama Kaede sambil bercanda kecil—“Kamu nggak usah terlalu sopan ke kakakku, lho.” “Nggak bisa, ah.” “Kenapa?”—obrolan mereka terdengar akrab dan ringan di kejauhan.

Sekitar satu jam kemudian, setelah berdiskusi dengan dosen pembimbing mengenai topik penelitian akhir, Sakuta memutuskan makan siang lebih awal sebelum waktu istirahat resmi.

Ia ingin makan ketika kantin masih sepi.

Namun ternyata, ia bukan satu-satunya yang berpikir begitu. Di depan pintu masuk kantin, ia bertemu wajah yang familiar.

“Sakuta, kamu ngapain di sini? Bukannya lagi praktik mengajar?”

Yang menyapanya adalah Fukuyama Takumi, teman sejurusannya di Ilmu Statistik.

“Lagi libur praktik,” jawab Sakuta.

Mereka masuk ke kantin sambil ngobrol santai.

“Karena kosong, jadi kamu ke kampus?”

“Tidak, aku ke sini untuk konfirmasi topik skripsi sama dosen.”

Di stand makanan, Sakuta memesan oyakodon. “Aku juga pesan yang sama,” kata Takumi ke ibu kantin.

Semangkuk nasi dengan daging ayam cincang manis gurih dan telur setengah matang tampak menggoda. Setelah mengambil makanan, mereka duduk di meja dekat jendela yang menghadap keluar.

“Sakuta, topik skripsimu apa?” tanya Takumi sambil mengambil sumpit.

‘Nilai dan posisi kesadaran kolektif yang tercermin dalam komentar media sosial,’” jawab Sakuta.

“Singkatnya?”

“Meneliti apa sebenarnya yang dimaksud dengan ‘semua orang’ itu.”

“...Kayaknya rumit banget, ya.”

“Makanya dosen nyuruh aku mempersempit topik.”

“Gimana caranya?” tanya Takumi sambil menyuap nasi dan ayam ke mulut.

“Aku bilang mau fokus ke kesadaran kolektif di kalangan remaja. Baru deh disetujui.”

“Oh, pantesan. Tetap aja kayaknya susah.”

“Kalau kamu sendiri ke kampus ngapain?” tanya Sakuta.

“Sama, buat skripsi juga. Aku barusan di lab komputer cari referensi jurnal.”

Sambil terus mengobrol, makanan mereka pun cepat habis.

Sakuta mengisi teh dari dispenser, kembali duduk, dan menyesap sedikit.

“Oh iya, Sakuta,” kata Takumi tiba-tiba dengan nada serius.

“Kok mendadak formal gitu? Jangan-jangan kamu baru diputusin pacar? Turut berduka, ya.”

“Bukan begitu!” seru Takumi.

“Lalu apa?”

“Aku udah pasti kerja di Hokkaido.”

Sakuta mengangguk. “Oh iya, kita udah tahun terakhir ya.”

“Kerja di mana dan ngapain?”

“Di stasiun TV, bagian manajemen data. Kerjanya seperti riset rating penonton dan tingkat kepuasan gitu.”

“Wah, itu bisa jadi masalah, kan?”

“Kenapa?”

“Soalnya pacarmu kerja di stasiun TV itu juga, sebagai penyiar sejak tahun lalu.”

“Iya, aku juga kepikiran. Tapi waktu kutanya Nene, dia malah bilang, ‘Hah? Kan bukan di Tokyo, jadi nggak masalah!’ Eh, terus dia marah.”

“Ya, pokoknya selamat ya, udah dapat kerja,” kata Sakuta sambil mengangkat cangkir teh.

Takumi ikut mengangkat gelas plastik dan menepukkannya ringan ke cangkir Sakuta.

“Jadi setelah lulus, kita bakal jarang bertemu sepertinya,” kata Takumi.

“Tidak apa-apa. Bahkan kalau kamu tetap di sini, habis lulus juga pasti begitu.”

“Haha, benar juga.”

Kantin mulai ramai karena jam pelajaran kedua baru saja berakhir dan waktu makan siang dimulai.

Tanpa perlu bicara, mereka berdua serentak berdiri, membawa nampan ke tempat pengembalian, dan keluar sebelum keramaian makin padat.

“Kamu mau ke mana habis ini, Sakuta?”

“Mau cari referensi jurnal buat skripsi.”

“Berarti tujuan kita sama.”

Mereka pun melangkah bersama menuju perpustakaan kampus.

 

4

 

Sekitar pukul tiga sore, setelah Takumi berpamitan dengan alasan ada pekerjaan paruh waktu, Sakuta tetap melanjutkan mengumpulkan jurnal yang mungkin berguna untuk penelitian kelulusannya.

Saat ia tersadar, langit sudah mulai mendung.

Setelah mencetak jurnal yang dibutuhkan, Sakuta meninggalkan kampus sebelum langit benar-benar gelap.

Ia berjalan sendirian di jalan yang sudah sangat dikenalnya, menuju stasiun.

Karena sudah cukup lama sejak kelas keempat berakhir, hampir tak ada lagi mahasiswa di sekitar.

Hanya butuh sekitar tiga menit untuk sampai ke stasiun.

Sakuta melewati gerbang tiket, menuruni tangga menuju peron, dan di sana ia melihat seseorang yang dikenalnya sedang menunggu kereta.

Meski tidak ada orang lain yang mengantre, gadis itu berdiri tepat di depan garis kuning tempat naik kereta — Akagi Ikumi. Ia menyadari kehadiran Sakuta, menoleh sekilas ke arahnya, lalu segera memalingkan pandangan ke depan lagi.

Sakuta tersenyum kecil dan berdiri di sampingnya.

“Sudah lama tidak bertemu.”

“Tempat lain juga masih kosong, tahu?”

Ikumi menatap ke arah sisi lain peron, seolah menyarankan agar Sakuta berdiri di sana.

“Sekarang kamu sudah tahun keempat di jurusan keperawatan, ya? Banyak praktik lapangan, kan?”

Sakuta berbicara tanpa memperdulikan nada dinginnya.

Sudah sekitar setahun mereka tidak bertemu. Sejak tahun kedua, mahasiswa keperawatan ditempatkan di kampus yang berbeda, jadi mereka tidak lagi saling berpapasan.

“Kira-kira separuh waktunya dipakai buat itu.”

Ikumi menjawab dengan nada datar, seperti sedikit merasa repot.

“Pakai seragam perawat?”

“Pakai seragam perawat.”

“Oh begitu~”

“Mau lihat?”

Ikumi menoleh ke arahnya sambil bertanya — reaksi yang tak terduga. Di tangannya, ia menggenggam ponsel yang baru saja diambil dari tas.

“Tentu saja, izinkan aku untuk melihatnya.”

“Nih, yang ini.”

Ikumi memutar layar ponselnya ke arah Sakuta.

Yang terlihat di layar adalah sebuah foto.

Foto itu memang menampilkan seorang mahasiswi yang mengenakan seragam praktik keperawatan.

Namun, orang di foto itu bukan Ikumi.

“Kenapa ini foto Kamisato?”

“Soalnya aku nggak punya foto diriku sendiri.”

Jawaban Ikumi begitu masuk akal dan lugas.

Memang sulit membayangkan Ikumi sampai begitu bersemangat saat pertama kali mengenakan seragam perawat hingga mengambil selfie sendiri.

“Katanya minggu lalu dia pergi ke taman bermain sama pacarnya yang pemadam kebakaran.”

Ikumi bahkan menunjukkan foto yang dikirim lewat aplikasi pesan waktu itu — Saki mengenakan bando bergambar maskot taman bermain sambil berpose dengan Kunimi yang sedang makan popcorn.

“Aku tidak tanya soal Kamisato, tahu.”

“Mereka kan teman sekelasmu waktu SMA, kan?”

“Ngomong-ngomong, Akagi, bagaimana kabarmu belakangan ini?”

“Bagaimana apanya?”

Meskipun tahu maksud pertanyaan Sakuta, Ikumi sengaja balik bertanya.

“Tidak punya pacar? Atau mungkin balikan sama seseorang?”

“Biasa aja, tidak ada yang spesial.”

Jawabannya menggantung — tidak mengiyakan, tapi juga tidak menyangkal.

“Yah, yang biasa-biasa aja justru paling baik.”

“Kalau kamu sendiri, Azusagawa?”

“Aku bahagia, kok.”

“Itu kabar yang bagus.”

Kereta memasuki peron — kereta ekspres menuju Bandara Haneda.

Saat melangkah ke dalam gerbong, sudut bibir Ikumi tampak sedikit terangkat, memperlihatkan senyum samar.

Di Stasiun Yokohama, Sakuta berpisah dengan Ikumi untuk berganti jalur, lalu menaiki Jalur Tokaido kembali ke Fujisawa.

Sekitar pukul setengah tujuh malam, area depan stasiun dipadati oleh para pekerja kantoran dan pelajar yang pulang. Sebagian berpindah dari Jalur Odakyu ke JR, dan sebaliknya, menciptakan arus manusia yang padat di kedua arah.

Sakuta mengikuti arus orang yang keluar dari gerbang utara stasiun.

Hari ini tidak ada agenda lain.

Sekarang ia hanya perlu pulang ke rumah.

Ia melewati deretan toko elektronik besar, meninggalkan hiruk-pikuk sekitar stasiun. Setelah menuruni jembatan penyeberangan dan melewati lampu merah di depan, ia menyeberangi jembatan di atas Sungai Sakai — di sana suasana sudah jauh lebih tenang.

Saat berjalan menanjak di jalan yang agak miring, sebuah mobil van putih melewatinya dari belakang. Itu adalah mobil agen manajer Mai.

Lampu rem menyala, dan mobil itu berhenti sekitar dua puluh meter di depannya.

Pintu terbuka, dan Mai turun dari kursi belakang.

Mai sempat berbicara sebentar dengan sang pengemudi, lalu mobil menutup pintu dan melaju pergi, meninggalkan Mai di tempat.

Saat itu, Sakuta sudah berjalan mendekat hingga sejajar dengannya.

“Selamat datang kembali, Mai-san.”

“Aku sudah pulang. Dan selamat datang kembali juga untukmu.”

Keduanya melangkah berdampingan.

“Syuting drama taiga-nya lancar?”

“Ya. Semua pemerannya luar biasa, dan stafnya juga bisa diandalkan. Selain itu, jadwalnya tetap — hanya Senin sampai Jumat.”

Nada bicara Mai terdengar cerah dan puas.

“Kau terlihat bahagia.”

“Rasanya sangat memuaskan. Hanya saja sayang, aku harus cuti kuliah lagi satu tahun.”

“Kalau begitu, aku juga akan tinggal kelas satu tahun lagi, biar seimbang?”

“Tahun ini kamu harus lulus dengan baik, Sakuta. Kamu kan mau jadi guru, bukan?”

“Itu kalau aku diterima, sih.”

“Kalau begitu, berusahalah lebih keras.”

Mai menegaskan dengan nada serius.

“Baik.”

Sakuta menjawab dengan jujur, dan Mai tersenyum puas setelah mendengar respons itu.

“Bagaimana dengan praktik mengajarnya? Lancar?”

“Aku dipanggil ‘Sakuta-sensei’ dan jadi idola murid-muridku.”

“Itu bukan karena mereka menghormati, tapi karena mereka sedang bercanda, kan?”

Mai menanggapi sambil tertawa kecil.

“Berkat berpacaran dengan Mai-san, aku jadi populer, tahu?”

“Syukurlah kalau begitu.”

Mai masih tersenyum.

“Tapi kebanyakan datang untuk curhat soal cinta. Menurutku itu harus dievaluasi lagi.”

“Kalau kamu menikmatinya, bukankah itu hal yang baik?”

“Yah, menikmati sih iya... tapi belum sampai merasa puas seperti Mai-san.”

Meskipun belum sampai pada tahap penuh pencapaian seperti Mai, Sakuta bisa merasakan kepuasan tersendiri dari usahanya yang perlahan mendekat pada tujuan.

“Ngomong-ngomong, Mai-san, kamu sudah makan malam belum?”

“Belum.”

“Kalau begitu, aku masak sesuatu. Mau makan di rumahku?”

“Boleh juga. Kita masak bareng, ya.”

Sambil berbincang santai seperti itu, keduanya berjalan sampai ke tempat tinggal mereka yang sudah tampak di depan mata.

 

5

 

Keesokan harinya, tanggal 21 Mei, ujian tengah semester pertama pun dimulai.

Tugas Sakuta hari itu adalah membagikan lembar soal, mengawasi agar tidak ada yang mencontek, dan kemudian menunggu waktu ujian berakhir sambil mendengarkan suara pensil mekanik yang menari di atas kertas jawaban.

Akhirnya, bel tanda waktu habis pun berbunyi.

“Baik, sampai di sini.”

Setelah mengucapkannya, Sakuta mulai mengumpulkan lembar jawaban dari barisan depan yang diteruskan dari belakang.

Selama ini, ia selalu berada di sisi peserta ujian, jadi kini berada di posisi pengawas merupakan pengalaman yang benar-benar baru baginya. Rasanya berbeda dibanding saat ia mengajar les privat di bimbingan belajar.

Hari itu hanya ada tiga mata pelajaran: Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, dan Matematika.

Setelah jam ketiga berakhir dengan ujian Matematika, suasana kelas dipenuhi dengan rasa lega sementara. Banyak siswa tampak lemas, sambil mengeluh, “Akhirnya selesai juga,” “Wah, nilainya pasti jelek,” “Aku tamat sudah…” dan keluhan serupa saling bersahutan.

Suasana setelah ujian seperti itu sama sekali tidak berubah sejak masa SMA-nya dulu.

Setelah jam homeroom sebelum pulang selesai, masih ada beberapa siswa yang enggan meninggalkan kelas — jelas sekali mereka sedang berusaha menghindari belajar untuk ujian besok.

“Ayo cepat pulang dan belajar yang rajin,” kata Sakuta sambil keluar dari kelas. Dari dalam, terdengar respons malas, tapi Sakuta tidak menanggapinya lebih jauh.

Ia pun punya urusan sendiri — harus kembali ke ruang guru untuk menulis laporan harian dan melaporkan seluruh kejadian hari itu kepada wali kelas.

Ia melangkah cepat menyusuri koridor. Hampir setiap kelas masih diisi beberapa siswa yang sibuk mengobrol.

Namun, ketika ia melewati dua kelas berturut-turut, keduanya kosong.

Ia mengira kelas berikutnya juga kosong, tetapi tiba-tiba terdengar suara dari dalam.

“Makanya aku bilang, kan? Aku sudah bilang tidak ada seorang pun yang mau percaya…”

Suaranya terdengar berat dan serius.

Sakuta mengintip ke dalam kelas — hanya ada seorang siswi di sana.

Padahal tadi jelas terdengar seseorang sedang berbicara, tapi kini hanya dia seorang diri di ruangan itu.

“Aku juga ingin berusaha mencari cara, tapi…”

Ia kembali berbicara — sendirian.

“Ada apa, ya?”

Karena merasa penasaran, Sakuta memanggilnya dari depan pintu.

“Ah!”

Siswi itu tampak terkejut.

“...”

Ia menatap Sakuta sambil terpaku di tempat.

Pada saat yang sama, terdengar suara riang dari arah koridor.

“Ah, Sakuta-sensei, sampai jumpa

Empat siswa laki-laki dari kelas 3-1 berjalan melewati koridor. Setelah salah satu dari mereka menyapa, yang lain pun ikut-ikutan mengucapkan, “Sampai jumpa

Salah satu dari mereka — siswa yang dulu di hari pertama praktik mengajar menanyakan “Apakah benar guru sedang berpacaran dengan Sakurajima Mai?” — kini memperhatikan keadaan di dalam kelas. Pandangannya tertuju pada siswi yang berdiri sendirian di sana.

“Lebih baik jangan berurusan dengannya. Katanya dia bisa melihat hantu.”

Sambil berbisik seperti sedang menyampaikan rahasia, siswa itu kemudian tertawa bersama teman-temannya dan pergi meninggalkan sekolah.

Kini hanya Sakuta yang tersisa di koridor.

Dan di dalam kelas itu, masih ada satu siswi — sendirian.

“Ah—aku ini guru magang…” kata Sakuta mencoba memperkenalkan diri.

“Azusagawa-sensei, kan?”

Siswi itu menjawab lebih dulu, dengan nada penuh kewaspadaan.

“Wah, kamu tahu juga.”

“Sensei terkenal, soalnya.”

“Itu karena Mai-san, ya?”

“...”

Siswi itu mengangguk pelan tanpa berkata apa-apa.

“Jadi, benar kamu bisa melihat hantu?”

“Lebih baik jangan berurusan denganku.”

Tampaknya ia mendengar bisikan para siswa tadi.

“Tapi… memang ada, kan? Di kelas ini masih ada satu orang lagi.”

“...Eh?”

Mungkin karena ucapan Sakuta yang tak terduga, siswi itu tampak terkejut.

“...Sensei, apa Anda bisa melihatnya?”

Ia bertanya dengan suara gemetar.

“Tidak, aku tidak bisa melihatnya. Tapi aku percaya padamu.”

“…”

Ia tampak bingung, tidak tahu bagaimana harus bersikap terhadap Sakuta. Wajahnya jelas memperlihatkan keraguan.

“Kalau kamu sedang kesulitan, aku bisa mendengarkan ceritamu.”

“…”

Keraguan itu semakin dalam.

“Sampai hari Rabu minggu depan, aku masih di sini sebagai guru magang.”

“…”

Tidak ada jawaban. Siswi itu berdiri diam di tempat, seolah sedang memikirkan sesuatu yang berat.

“Itu saja yang ingin aku sampaikan. Maaf kalau mengganggu.”

Setelah mengatakan itu, Sakuta membalikkan badan untuk pergi.

“Tunggu sebentar.”

“…”

Sakuta menoleh lagi. Siswi itu melangkah satu langkah mendekat ke arahnya.

“Saya Ebina Rin, kelas 2-1.”

“Aku Azusagawa Sakuta. ‘Azusagawa’ seperti di ‘Pemberhentian Azusagawa’, dan ‘Sakuta’ seperti di ‘Hanazaki Tarou’.”

“Apakah… aku bisa percaya pada sensei?”

Ebina Rin menatap Sakuta lurus-lurus. Ada kegelisahan dan kebimbangan di matanya, tapi juga sedikit harapan dan rasa ingin percaya.

“Ebina-san, aku percaya padamu.”

Jadi, selanjutnya terserah kamu sendiri yang memutuskan.
Dengan tulus Sakuta menyampaikan maksud itu lewat kata-katanya.

Ekspresi Rin pun sedikit melunak.

Hari itu, Sakuta meninggalkan gerbang SMA Minegahara sekitar pukul satu siang, saat matahari sudah tinggi di langit. Cuacanya cerah dan hangat.

Karena mengenakan jas membuatnya agak berkeringat, ia melepas bagian luarnya dan melonggarkan dasinya ketika berhenti di perlintasan kereta.

Tak ada lagi siswa di sekitarnya — ujian sudah selesai sejak pagi dan semua orang sudah pulang.

Kereta lewat dengan perlahan, dan palang perlintasan pun terangkat.

Setelah menyeberangi jembatan kecil di atas kanal, Stasiun Shichirigahama sudah terlihat di depan mata — sebuah stasiun kecil di jalur tunggal, dengan mesin tiket otomatis berdiri sendirian seperti orang-orangan sawah.

Ia menempelkan kartu IC untuk masuk ke peron.

Biasanya peron itu penuh dengan siswa sepulang sekolah, tapi kini benar-benar sepi.

Sakuta meletakkan barang-barangnya dan jas yang telah dilepas di bangku panjang, lalu berdiri menunggu kereta datang.

Dalam suasana tenang itu, waktu berjalan lambat.

Sekitar sepuluh menit kemudian, terdengar bunyi bel peringatan di perlintasan.

Tak lama kemudian, kereta muncul di peron.

Kereta melaju perlahan, lalu berhenti.

Pintu terbuka.

Sakuta mengambil barang-barangnya dan bersiap untuk naik.

Namun di sudut pandang matanya, ia melihat sosok seseorang yang sangat mirip dengan seseorang yang ia kenal.

Seorang wanita turun dari pintu berikutnya.

Langkah Sakuta terhenti di peron.

Dari sudut matanya, ia bisa melihat rambut panjang bergaya half-up yang jatuh di bahu.

Gaun one-piece yang dipadukan dengan jaket militer — pakaian yang terasa sangat familiar.

Usianya tampak sebaya dengan Sakuta.

“Pintu akan segera ditutup,” kata petugas stasiun memperingatkan.

Kereta yang berhenti itu adalah kereta menuju Fujisawa — yang seharusnya dinaiki oleh Sakuta.

Namun kakinya seolah tertancap di lantai peron, tak bisa bergerak sama sekali.

Kedua kakinya terasa berat dan tak mau melangkah.

Hanya tubuh bagian atasnya yang masih bisa bergerak.

Tatapan Sakuta tertuju pada wanita berambut panjang bergaya putri yang baru saja turun dari kereta.

Sosoknya terlihat jelas di mata Sakuta.

Pintu kereta tertutup, dan setelah terdengar aba-aba “berangkat”, kereta pun mulai melaju.

Mungkin karena merasakan tatapan, wanita berambut gaya putri itu menoleh ke arah Sakuta.

Tatapan mereka bertemu.

Wanita itu kemudian menampilkan ekspresi seolah berkata, “Ada apa?”, sambil sedikit mengerutkan alis.

Itu reaksi yang sepenuhnya wajar.

Yang mirip hanya gaya rambut dan pakaian.

Aura wanita itu sama sekali berbeda dengan “dia” yang dikenal Sakuta.

Dan di bawah mata kirinya pun tidak ada tahi lalat air mata.

“Ada apa? Kau kenal dia?”
tanya wanita lain di sampingnya — mungkin temannya.

“Tidak, aku tidak kenal.”

Ia mengalihkan pandangan dari Sakuta dan menempelkan kartu IC di gerbang tiket untuk keluar dari stasiun.

Sakuta tidak lagi menatap punggungnya.

Anehnya, ia tidak merasa kecewa sama sekali.

Hanya tersenyum getir pada dirinya sendiri.

Kalau “dia” tahu bahwa Sakuta sempat salah mengenali orang, pasti ia akan menertawakannya. Tidak — pasti akan menertawakannya.
“Dia” mungkin akan berkata dengan senyum menggoda,
“Jadi kamu sebegitu ingin bertemu denganku, ya?”

Karena bisa membayangkan adegan itu begitu jelas, Sakuta pun tersenyum pahit.

Seolah ingin menutupi rasa malu karena salah orang, ia kembali meletakkan barang bawaannya di bangku panjang.
Kereta menuju Fujisawa baru saja berangkat — kereta berikutnya baru akan tiba sekitar sepuluh menit lagi.

Sambil menunggu, Sakuta mengambil kotak earphone nirkabel dari saku jasnya. Ia menempatkan earphone itu di telinganya, lalu membuka aplikasi pemutar musik di ponselnya.

Dengan gerakan yang sudah terbiasa, ia menekan lagu yang tersimpan di daftar Favoritku.

Nama penyanyinya: Kirishima Touko.
Judul lagu: “Turn The World Upside Down.”

Versi lengkap lagu yang “dia” tinggalkan sebelum berangkat.

Lagu yang diisi dengan seluruh perasaannya.

“Dia pasti juga sedang bernyanyi di suatu tempat sekarang,” gumam Sakuta.

Senyum getir di sudut bibirnya perlahan berubah menjadi senyum tulus.

“Menyanyikan lagu ini.”

Jarinya menekan tombol play.


Senang sekali aku bisa mengenalmu.



Komentar

Posting Komentar