Chapter
4
Hello,
Goodbye
1
Hari itu, Azusagawa
Sakuta berdiri di depan gerbang SMA Minegahara dengan mengenakan setelan jas.
Tanggal 13 Mei, hari
Senin. Cuaca cerah.
Waktu menunjukkan pukul
07.50 pagi.
Karena masih sangat pagi,
tak ada siapa pun di sekitar.
Sekitar tiga puluh menit
kemudian, menjelang dimulainya pertemuan pagi, barulah tempat itu akan dipenuhi
oleh siswa-siswi SMA Minegahara.
Jadi, dengan perasaan
seperti sedang “memiliki sekolah ini sendiri,” Sakuta melangkah masuk melewati
gerbang.
Dengan langkah perlahan
dan hati yang diliputi nostalgia, ia berjalan di jalan menuju gedung sekolah.
Sudah tiga tahun berlalu
sejak Sakuta lulus dari SMA Minegahara.
Tahun ini menandai musim
semi keempatnya sebagai mahasiswa.
Ketika semakin dekat
dengan gedung sekolah, terdengar suara teriakan latihan pagi klub basket dari
arah gedung olahraga. Suara bola memantul, bercampur dengan derit sepatu di
lantai kayu.
Mendengarkan suara-suara
dari belakangnya, Sakuta masuk ke gedung sekolah melalui pintu yang digunakan
oleh staf pengajar. Ia melepas sepatu kulit yang belum terbiasa ia kenakan,
menggantinya dengan sandal dalam ruangan, lalu menaiki tangga di sisi kiri menuju
lantai dua.
Dengan mengandalkan
ingatan masa SMA-nya, ia berjalan menuju ruang guru.
Koridor masih kosong. Di
ujungnya, di atas pintu, tertulis “Ruang Guru.”
Sakuta menarik napas
dalam-dalam sebelum membuka pintu.
“Selamat pagi semuanya.
Saya Azusagawa Sakuta, guru magang yang mulai bertugas di sini hari ini.”
Ia menundukkan kepala
sedikit, memberi salam dengan suara cukup keras agar semua mendengar.
Para guru yang sedang
duduk di mejanya masing-masing menoleh sejenak ke arahnya.
Namun sebagian besar
segera kembali melanjutkan pekerjaan mereka.
Satu-satunya yang
merespons adalah seorang guru laki-laki yang duduk di meja bagian dalam
ruangan.
“Oh, Sakuta, kau sudah
datang ya?”
Guru yang melambaikan
tangan itu adalah guru bahasa Inggris yang menjadi wali kelas Sakuta selama dua
tahun, di kelas dua dan tiga. Sakuta pun menghampiri pria itu.
“Tapi saya ditugaskan di
bidang matematika, kan? Sensei mengajar bahasa Inggris, bukan?”
“Guru matematika,
Atsugi-sensei, tidak menjadi wali kelas. Jadi untuk jam pertemuan kelas, kau
akan masuk ke kelas 3-1 yang saya pegang.”
Guru itu menjelaskan
alasannya.
“Saya mengerti.”
“Tidak kusangka, Sakuta,
kau kembali ke sini sebagai guru magang.”
Guru itu menatap Sakuta
dengan ekspresi penuh kenangan.
“Apakah Anda merasa
terkejut?”
“Tidak juga, entah kenapa
aku sudah punya firasat seperti ini.”
Ia tersenyum bangga,
seperti seorang guru yang puas melihat muridnya tumbuh.
“Apakah ada hal yang kau
inginkan selama masa magang ini?”
“Kalau boleh, saya ingin
mencoba menjadi pembimbing klub.”
“Kau ingin membimbing
klub apa?”
“Kalau masih ada, saya
ingin bergabung dengan Klub Biologi.”
“Masih ada kok. Baiklah,
nanti akan saya atur.”
Guru itu mengangguk, lalu
menyerahkan buku absensi kepadanya.
“Ini, bawa ini.”
“Baik, terima kasih.”
Sakuta menerima buku
absensi kelas 3-1 itu.
Setelah pertemuan kelas
dimulai, Sakuta diperkenalkan sebagai guru magang dan tentu saja melakukan
perkenalan diri.
“Saya Azusagawa Sakuta.
Mata pelajaran yang saya tangani adalah matematika, tapi selama masa magang ini
saya hanya akan mengikuti jam pertemuan kelas di kelas ini. Saya juga dulu
bersekolah di SMA Minegahara seperti kalian. Mohon bimbingannya.”
Setelah mengatakan itu di
depan papan tulis, ruang kelas yang semula sedikit gaduh langsung dipenuhi
tepuk tangan meriah.
Jumlah siswa di kelas itu
ada tiga puluh lima orang.
Sebagian besar menatapnya
dengan rasa ingin tahu, sementara sebagian kecil mencoba bersikap cuek.
Di barisan paling depan,
ada satu siswa yang dikenalnya—Makinohara Shouko, kini sudah duduk di kelas
tiga.
Shouko tersenyum cerah
menyambut kehadiran Sakuta sebagai guru magang.
“Azusagawa-sensei, boleh
saya bertanya?”
Begitu tepuk tangan
berhenti, seorang siswa laki-laki di belakang kelas mengangkat tangan.
Ia tersenyum lebar—jelas
anak yang suka bercanda di kelas.
Sakuta melirik ke arah
guru wali kelas untuk memastikan.
Guru itu mengangguk
memberi izin.
“Silakan, pertanyaannya
apa?”
Sakuta sudah bisa menebak
apa yang akan ditanyakan. Lagipula, sebagai siswa sekolah ini, mereka pasti
tahu dengan siapa Sakuta berpacaran
“Sensei, benarkah Anda
berpacaran dengan Sakurajima Mai?”
Pertanyaan yang sudah ia
duga itu membuat sudut bibir Sakuta terangkat.
Semua siswa menatapnya
dengan ekspresi nakal namun polos.
Hanya Shouko di barisan
depan yang menatap seolah berkata, “Dasar anak-anak ini…”
“Itu benar,” jawab Sakuta
dengan tenang setelah jeda sejenak.
Sekeliling kelas langsung
meledak dalam hiruk-pikuk. Para siswa laki-laki berseru kagum—“Keren banget!”
“Beneran, nih!”—sementara siswi-siswi menjerit pelan menahan heboh.
Untuk ukuran guru magang,
Sakuta berhasil menarik perhatian seluruh kelas dengan sempurna.
“Baik, semuanya tenang,”
ujar guru wali kelas mencoba menertibkan.
Namun suasana kelas 3-1
tetap ramai cukup lama setelah itu.
Bel tanda akhir jam
pertemuan pagi berbunyi.
Sakuta keluar dari kelas
bersama wali kelas menuju koridor, bersiap untuk pelajaran pertama. Namun dari
belakang terdengar langkah cepat menyusul.
“Sakuta-san.”
Sakuta menoleh.
Tentu saja, hanya Shouko
yang memanggilnya seperti itu.
“Ah, seharusnya kupanggil
‘Sakuta-sensei’, ya?”
Shouko menjulurkan lidah,
menyadari kesalahannya.
“Kalau menurut aturan,
harusnya ‘Azusagawa-sensei’,” koreksi Sakuta sambil tersenyum.
Namun Shouko hanya
tertawa, jelas tidak berniat memanggilnya begitu.
“Kalian saling kenal?”
tanya wali kelas dengan nada heran melihat interaksi mereka.
“Kami punya hubungan yang
cukup dekat,” jawab Shouko dengan nada menggoda, seolah ingin menimbulkan salah
paham.
Wajah wali kelas tampak
bingung sejenak.
“Kalau begitu, kau tahu
tentang kondisi kesehatan Makinohara, kan?”
Ia bertanya lagi seolah
baru teringat sesuatu yang penting.
“Tahu,” jawab Sakuta
singkat.
“Syukurlah. Karena
Makinohara adalah ketua Klub Biologi, jadi kau bisa langsung membicarakan hal
itu dengannya.”
“Hal itu?”
Mendengar ucapan itu,
Shouko menatap Sakuta dengan rasa ingin tahu.
“Aku memang berniat
menjadi pembimbing untuk Klub Biologi,” kata Sakuta.
“Dan kebetulan aku juga
ingin memintamu jadi pembimbingnya,” balas Shouko.
“Tidak kusangka, ternyata
kau ketua klub.”
Melihat ekspresi terkejut
Sakuta, Shouko tersenyum puas seperti seseorang yang berhasil membuat
leluconnya berhasil.
“Aku sengaja
merahasiakannya sampai hari ini,” katanya dengan nada jenaka.
2
Setelah mengikuti
pelajaran hingga jam keenam dan menghadiri pertemuan kelas sebelum pulang,
Sakuta juga sempat mampir ke kegiatan Klub Biologi. Menjelang pukul lima sore,
ketika langit mulai memerah oleh cahaya senja, berakhirlah hari pertama dari
masa praktik mengajarnya.
Setelah berpamitan dengan
Shouko dan para anggota Klub Biologi, Sakuta menulis laporan harian di ruang
guru. Ketika akhirnya ia meninggalkan sekolah, waktu sudah menunjukkan lewat
pukul enam.
Sudah lama sejak jam
pulang sekolah berlalu, sehingga tak ada lagi siswa yang terlihat di jalan
menuju Shichirigahama. Dalam perjalanan pulang, Sakuta kembali merasakan
perasaan “memiliki sekolah sendirian,” berjalan menuju stasiun dan naik Enoden
— kereta yang dulu ia gunakan setiap hari saat SMA. Tubuhnya bergoyang perlahan
mengikuti getaran kereta menuju Fujisawa.
Begitu turun dari kereta,
ia berjalan mengikuti para penumpang yang turun lebih dulu, melewati gerbang
pemeriksaan tiket yang ramai. Di jam seperti ini, selain warga lokal, tampak
juga beberapa wisatawan.
Keluar dari stasiun
Enoden, Sakuta menuju pintu utara stasiun. Di tengah perjalanan, ia bergabung
dengan arus orang yang baru keluar dari gerbang JR dan Odakyu.
Saat melangkah di
jembatan penyeberangan, diterangi lampu dari toko elektronik besar di depannya…
“Tebak siapa aku~!”
Sakuta tiba-tiba dipeluk
dari belakang, kedua matanya ditutup oleh sepasang tangan kecil.
Suaranya adalah suara
perempuan yang sangat dikenalnya.
“Himeji-san, ya?”
“Bzzzt! Salah~!”
Suara itu menjawab dengan
nada riang, lalu kedua tangannya dilepaskan dari mata Sakuta.
Saat Sakuta berbalik, di
hadapannya berdiri seorang gadis berpakaian kasual yang terlihat anggun — Sara.
“Jawaban yang benar
adalah Himeji Sara, yang sekarang sudah menjadi mahasiswi cantik!”
Ia menepuk tangannya
gembira sambil tersenyum lebar.
Di belakangnya berdiri
Tomoe.
“Sudah lama tidak bertemu
kalian berdua,” sapa Sakuta.
“Senpai, sudah dua bulan
sejak berhenti kerja paruh waktu di restoran itu, ya? Terakhir kita ketemu pas
acara perpisahan. Tapi entah kenapa, kayaknya Senpai kelihatan lebih tua deh,”
kata Tomoe sambil menatap Sakuta yang mengenakan jas dengan ekspresi geli.
“Tomoe, tahun depan kau
juga akan mulai mencari kerja, jadi hati-hati, ya,” balas Sakuta.
“Hati-hati apanya?”
“Jangan sampai
orang-orang mengira kau anak kecil yang baru mau ikut upacara Shichi-Go-San.”
“Tidak mungkin lah!”
Tomoe tertawa, menampik
dengan ekspresi seolah berkata, “Siapa juga yang bakal percaya begitu?”
Namun, bantahan
berikutnya datang dari arah yang tak terduga.
“Kalau soal Tomoe-senpai,
mungkin saja, lho. Hari ini di kampus, dia bahkan dikira masih mahasiswi tahun
pertama, sampai-sampai didekati tim perekrut klub.”
Sara menampilkan senyum
nakal sambil melaporkan dengan gaya menggoda.
“Itu karena aku jalan
bareng kamu, tahu!”
Tomoe langsung membela
diri dengan nada tegas, seolah ingin menegaskan bahwa kesalahpahaman tadi bukan
salahnya.
“Pokoknya, tahun depan
aku akan menunggu dan melihat bagaimana hasilnya,” ujar Sara ringan.
“Kalau nanti aku pakai
setelan jas kerja, aku bakal pastikan untuk tidak bertemu dengan Senpai,” balas
Tomoe.
“Aku akan kirimkan
fotonya padamu,” bisik Sara dengan santai di telinganya.
“Ngomong-ngomong, aku
sebenarnya cukup kaget waktu tahu Himeji-san memilih universitas yang sama
dengan Koga,” ujar Sakuta.
“Kalau mau belajar
tentang pendidikan anak usia dini, universitas itu memang bagus kok,” jawab
Sara.
“Aku juga cukup kaget,
jujur saja,” kata Sakuta lagi.
“Pak Guru Sakuta, apa
Anda pikir saya ini tipe gadis malang yang cuma bisa hidup kalau terus
dipuja-puja oleh laki-laki?” tanya Sara dengan nada tajam namun menggoda.
“Tidak bisa dibilang aku
tidak pernah berpikir begitu,” jawab Sakuta dengan tawa kecut, menyadari
pikirannya terbongkar.
“Tidak masalah kalau di
kampus tidak banyak laki-laki. Aku tetap bisa jadi pusat perhatian di acara
kencan bareng universitas lain,” kata Sara tanpa ragu, nada suaranya penuh
percaya diri.
“Tapi, kemarin yang
paling populer justru Tomoe-senpai, lho,” tambahnya sambil melirik nakal ke
arah Tomoe.
“Oh, begitu ya~,” sahut
Sakuta dengan nada menggoda.
“Itu… itu bukan acara
kencan bareng! Itu cuma acara pertukaran rutin antar kampus!” teriak Tomoe
berusaha membantah.
“Tapi waktu itu banyak
cowok yang minta kontakmu, kan?” tanya Sara dengan nada jahil.
“Oh begitu ya~,” ulang
Sakuta lagi dengan senyum jahil.
“Itu karena nanti kami
akan saling bantu di acara festival kampus dan semacamnya…” suara Tomoe makin
lama makin pelan, sampai akhirnya nyaris tak terdengar.
“Aku harus kerja paruh
waktu, jadi aku duluan ya!” seru Tomoe, buru-buru mencari alasan untuk kabur.
“Ah, tunggu, aku juga ada
shift kerja!” jawab Sara cepat, lalu berlari mengejarnya.
Namun setelah beberapa
langkah, Sara tiba-tiba berseru pelan, “Ah!” seolah baru teringat sesuatu,
kemudian berhenti setelah tiga langkah.
“Ngomong-ngomong, apa
Sensei sudah dengar dari Rio-sensei soal itu?”
“Soal apa?” tanya Sakuta.
“Kayaknya Toranosuke
akhirnya menyatakan perasaan lagi pada Rio-sensei.”
“Itu kabar yang bagus.
Kebetulan aku juga mau langsung ke tempat les sekarang,” jawab Sakuta sambil
tersenyum tipis.
Sara melambaikan tangan
sambil berkata ceria, “Kalau begitu, sampai jumpa lagi ya,” lalu benar-benar
berlari mengejar Tomoe yang sudah lebih dulu pergi.
Ketika Sakuta masuk ke
ruang bimbingan belajar, ia melihat beberapa siswa yang baru pulang sekolah
sedang berkumpul di area bebas sambil bercanda. Sekelompok siswi tampak asyik
membicarakan hal-hal seperti pacar baru dan kisah cinta mereka.
“Oh, Pak Azusagawa.
Setelan jasnya keren juga,” sapa kepala bimbingan belajar yang sedang membeli
kopi kaleng di mesin otomatis.
“Karena mulai hari ini
saya menjalani praktik mengajar di sekolah,” jawab Sakuta sopan.
“Kalau nanti tidak
diterima jadi guru, datang saja kerja di sini,” canda sang kepala.
“Saya akan berusaha keras
agar tidak sampai merepotkan Anda,” balas Sakuta dengan senyum kecut.
Mendengar jawabannya,
kepala bimbel tertawa kecil lalu kembali ke ruang staf.
Tak lama kemudian, seolah
menggantikan kepergiannya, Futaba keluar dari arah ruang kelas dengan
mengenakan jas putih khas pengajar bimbel. Sepertinya ia baru saja selesai
mengajar.
“Futaba,” panggil Sakuta.
Mendengar namanya, Futaba
menoleh ke arahnya.
“Jadi mulai hari ini,
ya,” ujarnya sambil menatap pakaian formal Sakuta, langsung menebak situasinya.
“Tadi Shouko-chan sempat
menghubungiku,” lanjut Futaba.
“Oh? Dia bilang apa?”
“Katanya, perkenalan
dirimu tadi sangat populer,” jawab Futaba santai.
“Untuk hari pertama, itu
pencapaian yang bagus, kan?” kata Sakuta dengan nada puas.
“Asal Shouko senang,
berarti sudah cukup,” jawab Futaba datar sambil melangkah menuju mesin penjual
otomatis. Ia menempelkan ponselnya untuk membayar, lalu membeli sebotol kopi au
lait.
“Ngomong-ngomong,
Futaba…”
“Ada apa?” tanya Futaba
sambil membuka tutup botol dan menyesap sedikit minumannya.
“Kau tidak ada sesuatu
yang ingin kau katakan padaku?”
“Tidak ada,” jawabnya
cepat, tapi ia mengalihkan pandangan — jelas sedang berbohong.
“Padahal kamu baru saja
dua kali ditembak oleh Kasai-kun, kan?”
Futaba langsung menatap
tajam ke arah Sakuta. Namun ekspresinya setengah malu, jadi tatapan itu sama
sekali tidak menakutkan.
“Yah, waktu Kasai sakit
demam pas hari ujian dan gagal masuk universitas pilihannya, aku cukup khawatir
juga,” kata Sakuta mengenang. “Untungnya setelah dia ulang tahun dan mencoba
lagi, akhirnya dia berhasil masuk universitas yang dia inginkan.”
Saat mendengar Kasai
gagal, Sakuta memang sempat serius memikirkan bagaimana keadaannya nanti. Kasai
sempat dapat nilai tertinggi, peringkat “A” di simulasi ujian terakhir, jadi
kegagalannya terasa cukup memukul.
“Kau sudah memberi
jawaban padanya?”
“Kami sempat makan
bersama,” jawab Futaba pelan.
“Di mana?”
“Di kafetaria kampus,”
suaranya semakin kecil, hampir tak terdengar.
“Kalau itu kencan,
bukannya seharusnya di tempat yang lebih romantis?”
“Kami sudah janji lain
kali akan pergi ke Tsukuba bersama.”
Futaba menatap ke arah
lain saat akhirnya mengaku.
“Di Tsukuba memang ada
apa?” tanya Sakuta penasaran.
“Aku yang mengajaknya.
Aku ingin berkunjung ke pusat luar angkasa di sana.”
“Kedengarannya seru juga.
Mungkin aku akan diam-diam ikut,” kata Sakuta menggoda.
Futaba menatapnya dengan
pandangan sedingin es.
“Bercanda, kok,” ucap
Sakuta cepat-cepat.
“Haa…” Futaba menghela
napas panjang di depan Sakuta, seolah sudah lelah dengan sikapnya.
“Eh, Azusagawa…”
“Hm?”
“Mungkin sebaiknya aku
baru memberi jawaban setelah kencan ketiga, ya?” katanya dengan pipi yang mulai
bersemu merah.
“Ya, secara umum memang
seperti itu,” jawab Sakuta sambil menahan senyum.
“Baiklah, akan
kupikirkan,” kata Futaba dengan nada setengah malu.
Melihat situasi itu,
Sakuta berpikir dalam hati: dengan Toranosuke yang sudah memendam perasaan
padanya selama dua tahun, bahkan strategi menunggu lama pun tidak akan jadi
masalah. Tapi ia memutuskan untuk tidak mengatakannya keras-keras.
3
Senin minggu berikutnya,
tepat satu minggu setelah dimulainya praktik mengajar. Tanggal dua puluh Mei.
Sakuta terbangun karena
wajahnya diinjak oleh Nasuno. Saat keluar dari kamar, ia melihat Kaede sedang
menyiapkan sarapan. Ruangan dipenuhi aroma roti panggang yang harum.
“Ah, selamat pagi, Onii-san,”
sapa Kaede ceria.
“Pagi,” jawab Sakuta
sambil meregangkan tubuh.
“Hari ini Kakak libur
dari praktik mengajar dan harus ke kampus, kan?”
“Iya, betul,” ujarnya
sambil menyesap kopi yang diseduh Kaede.
“Aku barusan bicara
dengan Nodoka-san. Katanya, saat dia berangkat kerja dengan mobil, bisa
sekalian mengantar aku. Mau sekalian aku minta dia antar Onii-san juga?”
“Boleh juga. Aku memang
ada hal yang ingin kubicarakan dengan Toyohama,” jawab Sakuta sambil menggigit
roti panggangnya.
Mobil berangkat tepat
waktu agar bisa tiba di kampus sebelum jam kuliah kedua dimulai.
Yang mengemudi adalah Nodoka,
Kaede duduk di kursi penumpang depan, sedangkan Sakuta duduk di kursi belakang,
di belakang Kaede.
Mobil itu sebenarnya
milik Mai, tapi Mai tidak ikut dalam perjalanan kali ini.
“Eh, Toyohama…” panggil
Sakuta dari kursi belakang.
“Ada apa?” tanya Nodoka
sambil menghentikan mobil di lampu merah.
“Kudengar Sweet Bullet
akhirnya akan mengadakan konser di Nippon Budokan,” kata Sakuta.
“Ya… semacam itu,” jawab Nodoka
agak samar.
“Berita itu bahkan sempat
jadi trending kemarin,” tambahnya.
“Sudah sering
memimpikannya, tapi akhirnya benar-benar terwujud juga, ya,” ucap Sakuta.
“Selamat ya, Nodoka-san,”
kata Kaede ikut memberi selamat dengan tulus.
“Terima kasih. Tapi ini
juga konser perpisahan, jadi rasanya agak campur aduk,” kata Nodoka dengan
senyum tipis.
Itulah sebabnya ia tidak
bisa merasa senang sepenuhnya.
“Ah, tentu saja aku tetap
bahagia, kok,” ujarnya cepat, berusaha mencairkan suasana agar tidak terlalu
muram.
“Kalau setelah lulus dari
dunia idol, apa rencanamu nanti, Toyohama?” tanya Sakuta.
“Kurasa… aku akan pulang
dulu,” jawab Nodoka pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
“Memang sebaiknya begitu.
Lagipula kamu sudah lama kabur dari rumah. Sampaikan juga ucapan selamat dariku
untuk Uzuki, ya,” kata Sakuta santai.
“Bilang saja sendiri,”
balas Nodoka cepat.
Lampu lalu lintas berubah
hijau, dan mobil pun kembali melaju perlahan di jalan menuju kampus.
“Itu juga benar,” gumam
Sakuta sambil mengeluarkan ponsel dari saku.
— Selamat ya, akhirnya
tampil di Budokan.
Ia mengirim pesan singkat
itu pada Uzuki.
Tak lama kemudian, tanda
“dibaca” muncul, dan balasan langsung datang.
— Aku akan berusaha
keras jadi yokozuna! Eh, maksudku tampil di Budokan!
“Sekarang dia bahkan bisa
bercanda dan menimpali dirinya sendiri. Uzuki sudah banyak berkembang,” ujar
Sakuta sambil tersenyum.
“Onii-san, kamu ngomong
apa sih?” tanya Kaede heran.
Sebelum sempat
menjelaskan, ponselnya berdering—kali ini panggilan masuk.
Nama yang muncul di layar
tentu saja “Uzuki”.
Dan ternyata itu
panggilan video.
Sakuta menekan tombol
terima dan mengangkat ponsel ke depan wajahnya.
Di layar, wajah Uzuki
memenuhi seluruh tampilan.
“Ada apa, Uzuki? Kamu
terlalu dekat dengan kamera,” ujarnya.
『Nii-san,
kamu harus datang ke konser Budokan nanti ya!』
Uzuki menjauh sedikit
dari layar; tampaknya ia juga sedang di dalam mobil.
“Kalau aku bisa dapat
tiket, pasti datang.”
『Harus
ya! Mama, kamu juga ngomong sesuatu dong!』
Kamera berpindah ke kursi
pengemudi—ibu Uzuki tampak sedang menyetir. “Jangan ganggu mama nyetir!”
katanya sambil menyingkirkan ponsel dari depan wajahnya.
Panggilan video pun
terputus begitu saja.
“Benar-benar khas Uzuki,”
ucap Sakuta, seolah sudah terbiasa dengan sikapnya yang seenaknya.
“Ngomong-ngomong,” kata Nodoka
dari depan sambil tertawa kecil, “aku jadi nggak tahan dan ikut ketawa.”
“Kamu ketawa karena
terlalu senang, ya?” tanya Sakuta.
“Bukan, aku ketawa karena
kamu bilang ‘trending’. Rasanya aneh banget dengar kata itu keluar dari
mulutmu,” jawab Nodoka sambil tertawa lebih keras.
Kaede di kursi depan ikut
tersenyum. “Iya juga sih.”
Mobil yang dikendarai Nodoka
tiba di depan Stasiun Kanazawa-Hakkei dengan sisa waktu lima belas menit
sebelum kuliah kedua dimulai.
“Terima kasih, Nodoka-san,”
kata Kaede sambil melambaikan tangan.
Setelah mobil menjauh,
Sakuta dan Kaede berjalan santai menuju kampus.
Begitu melewati gerbang
utama, Sakuta melihat sosok yang dikenalnya di antara kerumunan mahasiswa.
“Pagi, Kotomi!” sapa
Kaede sambil berlari kecil.
Gadis yang menoleh itu
adalah Kano Kotomi, teman masa kecil Kaede.
“Pagi, Kaede. Pagi juga,
Sakuta-niisan,” jawabnya sopan sambil menunduk sedikit.
“Pagi,” balas Sakuta
singkat.
Ketiganya berjalan
bersama di jalan setapak yang teduh di bawah pepohonan.
“Kotomi, tugas bahasa
Inggrismu udah selesai?” tanya Kaede.
“Belum. Kaede, mau
ngerjain bareng nanti?”
“Wah, syukurlah,” ujar
Kaede lega.
Mereka terus mengobrol
seru soal tugas kuliah sambil berbelok ke arah gedung utama. Sakuta berpisah di
sana karena ia harus ke gedung riset.
“Aku ke ruang dosen
dulu,” katanya.
“Baik, sampai jumpa.”
jawab Kaede dan Kotomi sambil menunduk sopan lagi.
Ia lalu berjalan bersama
Kaede sambil bercanda kecil—“Kamu nggak usah terlalu sopan ke kakakku, lho.”
“Nggak bisa, ah.” “Kenapa?”—obrolan mereka terdengar akrab dan ringan di
kejauhan.
Sekitar satu jam
kemudian, setelah berdiskusi dengan dosen pembimbing mengenai topik penelitian
akhir, Sakuta memutuskan makan siang lebih awal sebelum waktu istirahat resmi.
Ia ingin makan ketika
kantin masih sepi.
Namun ternyata, ia bukan
satu-satunya yang berpikir begitu. Di depan pintu masuk kantin, ia bertemu
wajah yang familiar.
“Sakuta, kamu ngapain di
sini? Bukannya lagi praktik mengajar?”
Yang menyapanya adalah
Fukuyama Takumi, teman sejurusannya di Ilmu Statistik.
“Lagi libur praktik,”
jawab Sakuta.
Mereka masuk ke kantin
sambil ngobrol santai.
“Karena kosong, jadi kamu
ke kampus?”
“Tidak, aku ke sini untuk
konfirmasi topik skripsi sama dosen.”
Di stand makanan, Sakuta
memesan oyakodon. “Aku juga pesan yang sama,” kata Takumi ke ibu kantin.
Semangkuk nasi dengan
daging ayam cincang manis gurih dan telur setengah matang tampak menggoda.
Setelah mengambil makanan, mereka duduk di meja dekat jendela yang menghadap
keluar.
“Sakuta, topik skripsimu
apa?” tanya Takumi sambil mengambil sumpit.
‘Nilai dan posisi
kesadaran kolektif yang tercermin dalam komentar media sosial,’” jawab Sakuta.
“Singkatnya?”
“Meneliti apa sebenarnya
yang dimaksud dengan ‘semua orang’ itu.”
“...Kayaknya rumit
banget, ya.”
“Makanya dosen nyuruh aku
mempersempit topik.”
“Gimana caranya?” tanya
Takumi sambil menyuap nasi dan ayam ke mulut.
“Aku bilang mau fokus ke
kesadaran kolektif di kalangan remaja. Baru deh disetujui.”
“Oh, pantesan. Tetap aja
kayaknya susah.”
“Kalau kamu sendiri ke
kampus ngapain?” tanya Sakuta.
“Sama, buat skripsi juga.
Aku barusan di lab komputer cari referensi jurnal.”
Sambil terus mengobrol,
makanan mereka pun cepat habis.
Sakuta mengisi teh dari
dispenser, kembali duduk, dan menyesap sedikit.
“Oh iya, Sakuta,” kata
Takumi tiba-tiba dengan nada serius.
“Kok mendadak formal
gitu? Jangan-jangan kamu baru diputusin pacar? Turut berduka, ya.”
“Bukan begitu!” seru
Takumi.
“Lalu apa?”
“Aku udah pasti kerja di
Hokkaido.”
Sakuta mengangguk. “Oh
iya, kita udah tahun terakhir ya.”
“Kerja di mana dan
ngapain?”
“Di stasiun TV, bagian
manajemen data. Kerjanya seperti riset rating penonton dan tingkat kepuasan
gitu.”
“Wah, itu bisa jadi
masalah, kan?”
“Kenapa?”
“Soalnya pacarmu kerja di
stasiun TV itu juga, sebagai penyiar sejak tahun lalu.”
“Iya, aku juga kepikiran.
Tapi waktu kutanya Nene, dia malah bilang, ‘Hah? Kan bukan di Tokyo, jadi nggak
masalah!’ Eh, terus dia marah.”
“Ya, pokoknya selamat ya,
udah dapat kerja,” kata Sakuta sambil mengangkat cangkir teh.
Takumi ikut mengangkat
gelas plastik dan menepukkannya ringan ke cangkir Sakuta.
“Jadi setelah lulus, kita
bakal jarang bertemu sepertinya,” kata Takumi.
“Tidak apa-apa. Bahkan
kalau kamu tetap di sini, habis lulus juga pasti begitu.”
“Haha, benar juga.”
Kantin mulai ramai karena
jam pelajaran kedua baru saja berakhir dan waktu makan siang dimulai.
Tanpa perlu bicara,
mereka berdua serentak berdiri, membawa nampan ke tempat pengembalian, dan
keluar sebelum keramaian makin padat.
“Kamu mau ke mana habis
ini, Sakuta?”
“Mau cari referensi
jurnal buat skripsi.”
“Berarti tujuan kita
sama.”
Mereka pun melangkah
bersama menuju perpustakaan kampus.
4
Sekitar pukul tiga sore,
setelah Takumi berpamitan dengan alasan ada pekerjaan paruh waktu, Sakuta tetap
melanjutkan mengumpulkan jurnal yang mungkin berguna untuk penelitian
kelulusannya.
Saat ia tersadar, langit
sudah mulai mendung.
Setelah mencetak jurnal
yang dibutuhkan, Sakuta meninggalkan kampus sebelum langit benar-benar gelap.
Ia berjalan sendirian di
jalan yang sudah sangat dikenalnya, menuju stasiun.
Karena sudah cukup lama
sejak kelas keempat berakhir, hampir tak ada lagi mahasiswa di sekitar.
Hanya butuh sekitar tiga
menit untuk sampai ke stasiun.
Sakuta melewati gerbang
tiket, menuruni tangga menuju peron, dan di sana ia melihat seseorang yang
dikenalnya sedang menunggu kereta.
Meski tidak ada orang
lain yang mengantre, gadis itu berdiri tepat di depan garis kuning tempat naik
kereta — Akagi Ikumi. Ia menyadari kehadiran Sakuta, menoleh sekilas ke
arahnya, lalu segera memalingkan pandangan ke depan lagi.
Sakuta tersenyum kecil
dan berdiri di sampingnya.
“Sudah lama tidak
bertemu.”
“Tempat lain juga masih
kosong, tahu?”
Ikumi menatap ke arah
sisi lain peron, seolah menyarankan agar Sakuta berdiri di sana.
“Sekarang kamu sudah
tahun keempat di jurusan keperawatan, ya? Banyak praktik lapangan, kan?”
Sakuta berbicara tanpa
memperdulikan nada dinginnya.
Sudah sekitar setahun
mereka tidak bertemu. Sejak tahun kedua, mahasiswa keperawatan ditempatkan di
kampus yang berbeda, jadi mereka tidak lagi saling berpapasan.
“Kira-kira separuh
waktunya dipakai buat itu.”
Ikumi menjawab dengan
nada datar, seperti sedikit merasa repot.
“Pakai seragam perawat?”
“Pakai seragam perawat.”
“Oh begitu~”
“Mau lihat?”
Ikumi menoleh ke arahnya
sambil bertanya — reaksi yang tak terduga. Di tangannya, ia menggenggam ponsel
yang baru saja diambil dari tas.
“Tentu saja, izinkan aku
untuk melihatnya.”
“Nih, yang ini.”
Ikumi memutar layar
ponselnya ke arah Sakuta.
Yang terlihat di layar
adalah sebuah foto.
Foto itu memang
menampilkan seorang mahasiswi yang mengenakan seragam praktik keperawatan.
Namun, orang di foto itu
bukan Ikumi.
“Kenapa ini foto
Kamisato?”
“Soalnya aku nggak punya
foto diriku sendiri.”
Jawaban Ikumi begitu
masuk akal dan lugas.
Memang sulit membayangkan
Ikumi sampai begitu bersemangat saat pertama kali mengenakan seragam perawat
hingga mengambil selfie sendiri.
“Katanya minggu lalu dia
pergi ke taman bermain sama pacarnya yang pemadam kebakaran.”
Ikumi bahkan menunjukkan
foto yang dikirim lewat aplikasi pesan waktu itu — Saki mengenakan bando
bergambar maskot taman bermain sambil berpose dengan Kunimi yang sedang makan
popcorn.
“Aku tidak tanya soal
Kamisato, tahu.”
“Mereka kan teman
sekelasmu waktu SMA, kan?”
“Ngomong-ngomong, Akagi,
bagaimana kabarmu belakangan ini?”
“Bagaimana apanya?”
Meskipun tahu maksud
pertanyaan Sakuta, Ikumi sengaja balik bertanya.
“Tidak punya pacar? Atau
mungkin balikan sama seseorang?”
“Biasa aja, tidak ada
yang spesial.”
Jawabannya menggantung —
tidak mengiyakan, tapi juga tidak menyangkal.
“Yah, yang biasa-biasa
aja justru paling baik.”
“Kalau kamu sendiri,
Azusagawa?”
“Aku bahagia, kok.”
“Itu kabar yang bagus.”
Kereta memasuki peron —
kereta ekspres menuju Bandara Haneda.
Saat melangkah ke dalam
gerbong, sudut bibir Ikumi tampak sedikit terangkat, memperlihatkan senyum
samar.
Di Stasiun Yokohama,
Sakuta berpisah dengan Ikumi untuk berganti jalur, lalu menaiki Jalur Tokaido
kembali ke Fujisawa.
Sekitar pukul setengah
tujuh malam, area depan stasiun dipadati oleh para pekerja kantoran dan pelajar
yang pulang. Sebagian berpindah dari Jalur Odakyu ke JR, dan sebaliknya,
menciptakan arus manusia yang padat di kedua arah.
Sakuta mengikuti arus
orang yang keluar dari gerbang utara stasiun.
Hari ini tidak ada agenda
lain.
Sekarang ia hanya perlu
pulang ke rumah.
Ia melewati deretan toko
elektronik besar, meninggalkan hiruk-pikuk sekitar stasiun. Setelah menuruni
jembatan penyeberangan dan melewati lampu merah di depan, ia menyeberangi
jembatan di atas Sungai Sakai — di sana suasana sudah jauh lebih tenang.
Saat berjalan menanjak di
jalan yang agak miring, sebuah mobil van putih melewatinya dari belakang. Itu
adalah mobil agen manajer Mai.
Lampu rem menyala, dan
mobil itu berhenti sekitar dua puluh meter di depannya.
Pintu terbuka, dan Mai
turun dari kursi belakang.
Mai sempat berbicara
sebentar dengan sang pengemudi, lalu mobil menutup pintu dan melaju pergi,
meninggalkan Mai di tempat.
Saat itu, Sakuta sudah
berjalan mendekat hingga sejajar dengannya.
“Selamat datang kembali,
Mai-san.”
“Aku sudah pulang. Dan
selamat datang kembali juga untukmu.”
Keduanya melangkah
berdampingan.
“Syuting drama taiga-nya
lancar?”
“Ya. Semua pemerannya
luar biasa, dan stafnya juga bisa diandalkan. Selain itu, jadwalnya tetap —
hanya Senin sampai Jumat.”
Nada bicara Mai terdengar
cerah dan puas.
“Kau terlihat bahagia.”
“Rasanya sangat
memuaskan. Hanya saja sayang, aku harus cuti kuliah lagi satu tahun.”
“Kalau begitu, aku juga
akan tinggal kelas satu tahun lagi, biar seimbang?”
“Tahun ini kamu harus
lulus dengan baik, Sakuta. Kamu kan mau jadi guru, bukan?”
“Itu kalau aku diterima,
sih.”
“Kalau begitu,
berusahalah lebih keras.”
Mai menegaskan dengan
nada serius.
“Baik.”
Sakuta menjawab dengan
jujur, dan Mai tersenyum puas setelah mendengar respons itu.
“Bagaimana dengan praktik
mengajarnya? Lancar?”
“Aku dipanggil ‘Sakuta-sensei’
dan jadi idola murid-muridku.”
“Itu bukan karena mereka
menghormati, tapi karena mereka sedang bercanda, kan?”
Mai menanggapi sambil
tertawa kecil.
“Berkat berpacaran dengan
Mai-san, aku jadi populer, tahu?”
“Syukurlah kalau begitu.”
Mai masih tersenyum.
“Tapi kebanyakan datang
untuk curhat soal cinta. Menurutku itu harus dievaluasi lagi.”
“Kalau kamu menikmatinya,
bukankah itu hal yang baik?”
“Yah, menikmati sih
iya... tapi belum sampai merasa puas seperti Mai-san.”
Meskipun belum sampai
pada tahap penuh pencapaian seperti Mai, Sakuta bisa merasakan kepuasan
tersendiri dari usahanya yang perlahan mendekat pada tujuan.
“Ngomong-ngomong,
Mai-san, kamu sudah makan malam belum?”
“Belum.”
“Kalau begitu, aku masak
sesuatu. Mau makan di rumahku?”
“Boleh juga. Kita masak
bareng, ya.”
Sambil berbincang santai
seperti itu, keduanya berjalan sampai ke tempat tinggal mereka yang sudah
tampak di depan mata.
5
Keesokan harinya, tanggal
21 Mei, ujian tengah semester pertama pun dimulai.
Tugas Sakuta hari itu
adalah membagikan lembar soal, mengawasi agar tidak ada yang mencontek, dan
kemudian menunggu waktu ujian berakhir sambil mendengarkan suara pensil mekanik
yang menari di atas kertas jawaban.
Akhirnya, bel tanda waktu
habis pun berbunyi.
“Baik, sampai di sini.”
Setelah mengucapkannya,
Sakuta mulai mengumpulkan lembar jawaban dari barisan depan yang diteruskan
dari belakang.
Selama ini, ia selalu
berada di sisi peserta ujian, jadi kini berada di posisi pengawas merupakan
pengalaman yang benar-benar baru baginya. Rasanya berbeda dibanding saat ia
mengajar les privat di bimbingan belajar.
Hari itu hanya ada tiga
mata pelajaran: Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, dan Matematika.
Setelah jam ketiga
berakhir dengan ujian Matematika, suasana kelas dipenuhi dengan rasa lega
sementara. Banyak siswa tampak lemas, sambil mengeluh, “Akhirnya selesai juga,”
“Wah, nilainya pasti jelek,” “Aku tamat sudah…” dan keluhan serupa saling
bersahutan.
Suasana setelah ujian
seperti itu sama sekali tidak berubah sejak masa SMA-nya dulu.
Setelah jam homeroom
sebelum pulang selesai, masih ada beberapa siswa yang enggan meninggalkan kelas
— jelas sekali mereka sedang berusaha menghindari belajar untuk ujian besok.
“Ayo cepat pulang dan
belajar yang rajin,” kata Sakuta sambil keluar dari kelas. Dari dalam,
terdengar respons malas, tapi Sakuta tidak menanggapinya lebih jauh.
Ia pun punya urusan
sendiri — harus kembali ke ruang guru untuk menulis laporan harian dan
melaporkan seluruh kejadian hari itu kepada wali kelas.
Ia melangkah cepat
menyusuri koridor. Hampir setiap kelas masih diisi beberapa siswa yang sibuk
mengobrol.
Namun, ketika ia melewati
dua kelas berturut-turut, keduanya kosong.
Ia mengira kelas
berikutnya juga kosong, tetapi tiba-tiba terdengar suara dari dalam.
“Makanya aku bilang, kan?
Aku sudah bilang tidak ada seorang pun yang mau percaya…”
Suaranya terdengar berat
dan serius.
Sakuta mengintip ke dalam
kelas — hanya ada seorang siswi di sana.
Padahal tadi jelas
terdengar seseorang sedang berbicara, tapi kini hanya dia seorang diri di
ruangan itu.
“Aku juga ingin berusaha
mencari cara, tapi…”
Ia kembali berbicara — sendirian.
“Ada apa, ya?”
Karena merasa penasaran,
Sakuta memanggilnya dari depan pintu.
“Ah!”
Siswi itu tampak
terkejut.
“...”
Ia menatap Sakuta sambil
terpaku di tempat.
Pada saat yang sama,
terdengar suara riang dari arah koridor.
“Ah, Sakuta-sensei,
sampai jumpa~”
Empat siswa laki-laki
dari kelas 3-1 berjalan melewati koridor. Setelah salah satu dari mereka
menyapa, yang lain pun ikut-ikutan mengucapkan, “Sampai jumpa~”
Salah satu dari mereka —
siswa yang dulu di hari pertama praktik mengajar menanyakan “Apakah benar guru
sedang berpacaran dengan Sakurajima Mai?” — kini memperhatikan keadaan di dalam
kelas. Pandangannya tertuju pada siswi yang berdiri sendirian di sana.
“Lebih baik jangan
berurusan dengannya. Katanya dia bisa melihat hantu.”
Sambil berbisik seperti
sedang menyampaikan rahasia, siswa itu kemudian tertawa bersama teman-temannya
dan pergi meninggalkan sekolah.
Kini hanya Sakuta yang
tersisa di koridor.
Dan di dalam kelas itu,
masih ada satu siswi — sendirian.
“Ah—aku ini guru magang…”
kata Sakuta mencoba memperkenalkan diri.
“Azusagawa-sensei, kan?”
Siswi itu menjawab lebih
dulu, dengan nada penuh kewaspadaan.
“Wah, kamu tahu juga.”
“Sensei terkenal,
soalnya.”
“Itu karena Mai-san, ya?”
“...”
Siswi itu mengangguk
pelan tanpa berkata apa-apa.
“Jadi, benar kamu bisa
melihat hantu?”
“Lebih baik jangan
berurusan denganku.”
Tampaknya ia mendengar
bisikan para siswa tadi.
“Tapi… memang ada, kan?
Di kelas ini masih ada satu orang lagi.”
“...Eh?”
Mungkin karena ucapan
Sakuta yang tak terduga, siswi itu tampak terkejut.
“...Sensei, apa Anda bisa
melihatnya?”
Ia bertanya dengan suara
gemetar.
“Tidak, aku tidak bisa
melihatnya. Tapi aku percaya padamu.”
“…”
Ia tampak bingung, tidak
tahu bagaimana harus bersikap terhadap Sakuta. Wajahnya jelas memperlihatkan
keraguan.
“Kalau kamu sedang
kesulitan, aku bisa mendengarkan ceritamu.”
“…”
Keraguan itu semakin
dalam.
“Sampai hari Rabu minggu
depan, aku masih di sini sebagai guru magang.”
“…”
Tidak ada jawaban. Siswi
itu berdiri diam di tempat, seolah sedang memikirkan sesuatu yang berat.
“Itu saja yang ingin aku
sampaikan. Maaf kalau mengganggu.”
Setelah mengatakan itu,
Sakuta membalikkan badan untuk pergi.
“Tunggu sebentar.”
“…”
Sakuta menoleh lagi.
Siswi itu melangkah satu langkah mendekat ke arahnya.
“Saya Ebina Rin, kelas
2-1.”
“Aku Azusagawa Sakuta.
‘Azusagawa’ seperti di ‘Pemberhentian Azusagawa’, dan ‘Sakuta’ seperti di
‘Hanazaki Tarou’.”
“Apakah… aku bisa percaya
pada sensei?”
Ebina Rin menatap Sakuta
lurus-lurus. Ada kegelisahan dan kebimbangan di matanya, tapi juga sedikit
harapan dan rasa ingin percaya.
“Ebina-san, aku percaya
padamu.”
Jadi, selanjutnya
terserah kamu sendiri yang memutuskan.
Dengan tulus Sakuta menyampaikan maksud itu lewat kata-katanya.
Ekspresi Rin pun sedikit
melunak.
Hari itu, Sakuta
meninggalkan gerbang SMA Minegahara sekitar pukul satu siang, saat matahari
sudah tinggi di langit. Cuacanya cerah dan hangat.
Karena mengenakan jas
membuatnya agak berkeringat, ia melepas bagian luarnya dan melonggarkan dasinya
ketika berhenti di perlintasan kereta.
Tak ada lagi siswa di
sekitarnya — ujian sudah selesai sejak pagi dan semua orang sudah pulang.
Kereta lewat dengan
perlahan, dan palang perlintasan pun terangkat.
Setelah menyeberangi
jembatan kecil di atas kanal, Stasiun Shichirigahama sudah terlihat di depan
mata — sebuah stasiun kecil di jalur tunggal, dengan mesin tiket otomatis
berdiri sendirian seperti orang-orangan sawah.
Ia menempelkan kartu IC
untuk masuk ke peron.
Biasanya peron itu penuh
dengan siswa sepulang sekolah, tapi kini benar-benar sepi.
Sakuta meletakkan
barang-barangnya dan jas yang telah dilepas di bangku panjang, lalu berdiri
menunggu kereta datang.
Dalam suasana tenang itu,
waktu berjalan lambat.
Sekitar sepuluh menit
kemudian, terdengar bunyi bel peringatan di perlintasan.
Tak lama kemudian, kereta
muncul di peron.
Kereta melaju perlahan,
lalu berhenti.
Pintu terbuka.
Sakuta mengambil
barang-barangnya dan bersiap untuk naik.
Namun di sudut pandang
matanya, ia melihat sosok seseorang yang sangat mirip dengan seseorang yang ia
kenal.
Seorang wanita turun dari
pintu berikutnya.
Langkah Sakuta terhenti
di peron.
Dari sudut matanya, ia
bisa melihat rambut panjang bergaya half-up yang jatuh di bahu.
Gaun one-piece yang
dipadukan dengan jaket militer — pakaian yang terasa sangat familiar.
Usianya tampak sebaya
dengan Sakuta.
“Pintu akan segera
ditutup,” kata petugas stasiun memperingatkan.
Kereta yang berhenti itu
adalah kereta menuju Fujisawa — yang seharusnya dinaiki oleh Sakuta.
Namun kakinya seolah
tertancap di lantai peron, tak bisa bergerak sama sekali.
Kedua kakinya terasa
berat dan tak mau melangkah.
Hanya tubuh bagian
atasnya yang masih bisa bergerak.
Tatapan Sakuta tertuju
pada wanita berambut panjang bergaya putri yang baru saja turun dari kereta.
Sosoknya terlihat jelas
di mata Sakuta.
Pintu kereta tertutup,
dan setelah terdengar aba-aba “berangkat”, kereta pun mulai melaju.
Mungkin karena merasakan
tatapan, wanita berambut gaya putri itu menoleh ke arah Sakuta.
Tatapan mereka bertemu.
Wanita itu kemudian
menampilkan ekspresi seolah berkata, “Ada apa?”, sambil sedikit mengerutkan
alis.
Itu reaksi yang
sepenuhnya wajar.
Yang mirip hanya gaya
rambut dan pakaian.
Aura wanita itu sama
sekali berbeda dengan “dia” yang dikenal Sakuta.
Dan di bawah mata kirinya
pun tidak ada tahi lalat air mata.
“Ada apa? Kau kenal dia?”
tanya wanita lain di sampingnya — mungkin temannya.
“Tidak, aku tidak kenal.”
Ia mengalihkan pandangan
dari Sakuta dan menempelkan kartu IC di gerbang tiket untuk keluar dari
stasiun.
Sakuta tidak lagi menatap
punggungnya.
Anehnya, ia tidak merasa
kecewa sama sekali.
Hanya tersenyum getir
pada dirinya sendiri.
Kalau “dia” tahu bahwa
Sakuta sempat salah mengenali orang, pasti ia akan menertawakannya. Tidak —
pasti akan menertawakannya.
“Dia” mungkin akan berkata dengan senyum menggoda,
“Jadi kamu sebegitu ingin bertemu denganku, ya?”
Karena bisa membayangkan
adegan itu begitu jelas, Sakuta pun tersenyum pahit.
Seolah ingin menutupi
rasa malu karena salah orang, ia kembali meletakkan barang bawaannya di bangku
panjang.
Kereta menuju Fujisawa baru saja berangkat — kereta berikutnya baru akan tiba
sekitar sepuluh menit lagi.
Sambil menunggu, Sakuta
mengambil kotak earphone nirkabel dari saku jasnya. Ia menempatkan earphone itu
di telinganya, lalu membuka aplikasi pemutar musik di ponselnya.
Dengan gerakan yang sudah
terbiasa, ia menekan lagu yang tersimpan di daftar Favoritku.
Nama penyanyinya: Kirishima
Touko.
Judul lagu: “Turn The World Upside Down.”
Versi lengkap lagu yang
“dia” tinggalkan sebelum berangkat.
Lagu yang diisi dengan
seluruh perasaannya.
“Dia pasti juga sedang
bernyanyi di suatu tempat sekarang,” gumam Sakuta.
Senyum getir di sudut
bibirnya perlahan berubah menjadi senyum tulus.
“Menyanyikan lagu ini.”
Jarinya menekan tombol play.
Senang
sekali aku bisa mengenalmu.

Goodbye mitou miori
BalasHapus